Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia
Lahir di Kota Purbalingga, 29 Januari 1979, mendapat gelar Sarjana Hukum tahun 2006 di Universitas Jenderal Soedirman, dan dilanjutkan Pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Unsoed Tahun 2010. Motto : Menjadikan ilmu yang bermanfaat bagi sesama...

Minggu, 26 Juli 2009

PERLINDUNGAN HUKUM PENERIMA WARALABA

ATAS PERJANJIAN WARALABA YANG BERPOTENSI MENGARAH PADA PRAKTEK MONOPOLI

Oleh : Aris Sutanto

Konsep bisnis waralaba (franchise) telah menjadi salah satu trendsetter yang memberi warna baru dalam dinamika perekonomian Indonesia. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir, animo masyarakat Indonesia terhadap munculnya peluang usaha waralaba sangat signifikan. Animo ini terefleksi pada dua cermin yakni jumlah pembeli waralaba dan jumlah peluang usaha (business opportunity) yang terkonversi menjadi waralaba.

Bahwa pertumbuhan waralaba lokal saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan waralaba asing di Indonesia. Fakta ini disebabkan karena pewaralaba lokal memberikan berbagai kemudahan dalam persyaratan pembelian waralaba mereka. Toleransi yang diberikan juga cukup luas ditambah promosi dan marketing yang terus menerus dan up to date. Pihak media di Indonesia juga memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan waralaba lokal.[1]

Franchise atau Waralaba bukanlah suatu industri baru bagi Indonesia. Legalitas yuridisnya sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1997 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, yang disusul dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.

Franchising (pewaralabaan) pada hakekatnya adalah sebuah konsep pemasaran dalam rangka memperluas jaringan usaha secara cepat. Dengan demikian, franchising bukanlah sebuah alternatif melainkan salah satu cara yang sama kuatnya, sama strategsinya dengan cara konvensional dalam mengembangkan usaha. Bahklan sistem franchise dianggap memiliki banyak kelebihan terutama menyangkut pendanaan, SDM dan managemen, kecuali kerelaan pemilik merek untuk berbagi dengan pihak lain. Franchising juga dikenal sebagai jalur distribusi yang sangat efektif untuk mendekatkan produk kepada konsumennya melalui tangan-tangan franchisee.

Pada dasarnya dalam sistem waralaba terdapat tiga komponen yaitu pertama, franchisor, yaitu pihak yang memiliki sistem atau cara-cara dalam berbisnis. Kedua, franchisee, yaitu pihak yang membeli franchise atau sistem dari franchisor sehingga memiliki hak untuk mejalankan bisnis dengan cara-cara yang dikembangkan oleh franchisor. Ketiga, franchise, yaitu sistem dan cara-cara bisnis itu sendiri, ini merupakan pengetahuan atau spesifikasi usaha dari franchisor yang dijual kepada franchise.

Hubungan hukum antara franchisor dengan franchisee berdasarkan pada suatu kontrak hukum untuk menjalankan kegiatan waralaba. Pada dasarnya waralaba merupakan salah satu bentuk pemberian lisensi[2], hanya saja agak berbeda dengan pengertian lisensi pada umumnya, waralaba menekankan pada kewajiban untuk menggunakan sistem, metode, tata cara, prosedur, metode pemasaran dan penjualan maupun hal-hal lain yang ditentukan oleh pemberi waralaba secara eksklusif,[3] serta tidak boleh dilanggar maupun diabaikan oleh penerima lisensi.

Payung hukum usaha waralaba di Indonesia masih kurang memadai. Pearturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1997 yang implementasinya dituangkan dalam SK Menperindag 259/1997 masih sangat rawan terhadap pelanggaran dan kecurangan. Banyak celah yang bisa dimanfaatkan secara tidak fair oleh para pelaku di bisnis ini. Akibatnya, semangat untuk mendorong perkembangan usaha waralaba bisa menjadi blunder terhadap industri itu sendiri. Dengan kata lain, payung hukum yang ada belum melindungi semua pemain di usaha waralaba, terutama para franchisee. Berdasarkan alasan tersebut pemerintah kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba.

Di Indonesia, sistem bisnis penjualan secara waralaba sangat diminati oleh pebisnis waralaba asing dimana mereka memberikan izin kepada pengusaha lokal untuk mengelola waralaba asing tersebut dan tentunya akan berakibat menimbulkan saingan yang berat bagi pengusaha kecil lokal yang bergerak di bidang usaha sejenis.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 diharapkan dapat mendorong pertumbuhan Pemberi Waralaba Lokal dengan membuat aturan yang merangsang perkembangannya, menciptakan iklim usaha yang mendorong Pemberi Waralaba Lokal bergairah melakukan ekspor waralaba ke pasar global, melindungi penerima waralaba dari persaingan usaha tidak sehat dan mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri.

Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 menyatakan :

“Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa”.

Dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui bahwa waralaba merupakan suatu perikatan/perjanjian antara dua pihak. Sebagai perjanjian dapat dipastikan semua ketentuan dalam hukum perdata (KUHPerdata) tentang perjanjian (Pasal 1313),[4] sahnya perjanjian (Pasal 1320) dan ketentuan Pasal 1338.

Pada umumnya dalam setiap perjanjian waralaba telah dicantumkan ketentuan atau klausula non-kompetisi (non-competition) bagi penerima waralaba yang dengan atau karena alasan apa pun diakhiri perjanjian waralabanya. Ini berarti sesungguhnya bisnis waralaba yang dijalankan dan dikelola oleh penerima waralaba bergantung sepenuhnya pada niat dan itikad baik pemberi waralaba. Oleh karena itu maka penerima waralaba harus tidak menjadikan suatu mitos bahwa bisnis waralaba akan selalu menjadi miliknya, meskipun ia tentunya harus berusaha agar bisnis waralaba yang digelutinya akan terus menjadi bagian dari bisnisnya.[5]

Sebagai bentuk perlindungan pemerintah terhadap pihak yang lemah (franchisee), berdasarkan Pasal 4 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 dibuat dalam bentuk tertulis antara franchisor dan franchisee. Franchisee perlu memperoleh perlindungan hukum dari pemutusan perjanjian secara sewenang-wenang franchisor. Jika terjadi pemutusan perjanjian sepihak, franchisee adalah pihak yang dirugikan, karena sejak awal franchisee sudah membayar biaya sebagai imbalan, kompensasi langsung saat awal disepakatinya franchise agreement.

Peraturan Pemerintah ini harus mempertimbangkan keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Pasal 6 tentang klausul perjanjian, yang mengatur perjanjian waralaba tidak boleh memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 50 mengecualikan beberapa bidang tertentu. Misalnya untuk sektor usaha kecil dan menengah (UKM), termasuk juga waralaba.

“Yang dikecualikan dari ketentuan Undang-undang ini adalah:

... b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; ...”.

Bisnis kedua belah pihak sepenuhnya diatur melalui perjanjian waralaba. Masalahnya, belum ada aturan formal yang membatasi secara jelas hal-hal apa saja yang dilarang dan tidak dilarang dimuat dalam perjanjian waralaba.

Sebuah pertanyaan muncul mengenai apakah perjanjian waralaba akan masuk kriteria mutlak dikecualikan atau tidak oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?

Tinjauan Pustaka

Di dalam melaksanakan kegiatan bisnis sehari-hari, ternyata dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Ada yang melakukannya dengan bekerja sama dengan pihak lokal dan ada pula yang melakukan dengan pihak asing. Ada yang melakukannya untuk pribadi, dan ada pula yang melakukannya untuk kepentingan perusahaan.

Hubungan-hubungan bisnis demikian tentunya dilakukan karena mempunyai kepentingan dan tujuan sendiri-sendiri. Secara pasti, tujuan mereka melakukan hubungan bisnis tidak lain dimaksudkan untuk saling mencari keuntungan satu sama lain. Selain itu ada tujuan lain seperti untuk mempercepat proses pemasaran produknya secara langsung di suatu negara. Namun ada pula yang melakukannya karena ketidakmampuannya untuk berbisnis, ataupun masalah permodalannya, serta tujuan-tujuan lainnya.[6]

Warren J. Keegen dalam bukunya Global Marketing Management mengatakan bahwa pengembangan usaha secara internasional dapat dilakukan dengan sekurangnya lima macam cara :

  1. dengan cara ekspor;
  2. melalui pemberian lisensi;
  3. dalam bentuk franchising (waralaba);
  4. pembentukan perusahaan patungan (joint ventures);
  5. total ownership atau pemilikan menyeluruh, yang dapat dilakukan melalui direct ownership (kepemilikan langsung) ataupun akusisi.[7]

Franchise pada mulanya bukan dipandang sebagai usaha (bisnis), melainkan sebagai suatu konsep, metode ataupun sistem pemasaran yang dapat digunakan oleh suatu perusahaan (franchisor) untuk mengembangkan pemasarannya tanpa melakukan investasi langsung pada outlet, melainkan denagn melibatkan kerja sama pihak lain selain pemilik outlet, sosok ini merupakan konsep tradisional.[8]

Seringkali antara waralaba atau franchise disamakan dengan lisensi,[9] padahal keduanya berbeda. Pada lisensi hanya memberikan ijin untuk menggunakan hak kekayaan intelektual tertentu saja, sedangkan pada waralaba lebih luas daripada lisensi. Hal ini disebaban pada waralaba di dalamnya antara lain ada lisensi penggunaan hak kekayaan intelektual yang disertai dengan suatu sistem kerja, ketrampilan, pengalaman dan berbagai sistem pelayanan yang dimilikinya.

Pada dasarnya suatu Waralaba, sebagaimana halnya lisensi, adalah suatu bentuk perjanjian, yang isinya memberikan hak dan kewenangan khusus kepada pihak Penerima Waralaba, yang dapat terwujud dalam bentuk :[10]

  1. hak untuk melakukan penjualan atas produk berupa barang dan atau jasa dengan mempergunakan nama dagang atau merek dagang tertentu;
  2. hak untuk melaksanakan kegiatan usaha dengan atau berdasarkan pada suatu format bisnis yang telah ditentukan oleh Pemberi Waralaba.

Bagi pemilik usaha, pengembangan melalui franchise mempunyai tujuan untuk memperoleh laba dalam waktu yang lebih singkat dengan risiko modal yang kecil. Waralaba atau franchise sebagai salah satu alternatif dalam pengembangan usaha, tentu saja mempunyai keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian[11]

Keuntungan-keuntungan :

a. Kurangnya pengetahuan dasar dan pengetahuan khusus yang dimiliki franchisee, ditanggulangi dengan program pelatihan dari franchisor.

b. Franchisee mendapatkan insentif dengan memiliki bisnis sendiri yang memiliki keuntungan tambahan dari bantuan terus-menerus franchisor, karena franchisee adalah pengusaha independen yang beroperasi di dalam kerangka perjanjian franchise.

c. Di dalam banyak kasus, bisnis franchisee mendapat keuntungan dari operasi di bawah nama yang telah mapan dalam pandangan dan fikiran masyarakat. Tentunya akan ada skema francise baru yang masih dalam proses menjadi mapan dan yang namanya belum begitu dikenal.

d. Franchisee biasanya akan membutuhkan modal yang lebih kecil dibandingkaan bila ia mendirikan bisnis secara mandiri, karena franchisor melaluhi operasi percobaannya telah menghapuskan biaya-biaya yang tidak perlu.

e. Franchisee akan menerima bantuan berikut ini: seleksi tempat, mempersiapakan perbaikan gedung atau ruangan, mendapatkan dana untuk sebagian biaya akuisisi dari bisnis yang difranchisekan, pelatihan staff dan pegawai, pembelian peralatan, seleksi dan pembelian suku cadang serta membantu membuka bisnis dan menjalankannya dengan lancar.

f. Fraanchisee mendapat keuntungan dari aktifitas iklan dan promosi franchisor pada tingkat nasional.

g. Franchisee mendapatkan keuntungan dari daya beli yang besar dan kemampuan negosiasi yang dilakukan franchisor atas nama seluruh franchisee di jejaringnya.

h. Franchisee mendapatkan pengetahuan yang khusus dan berskill tinggi serta pengalaman dari organisasi dan manajemen kantor pusat franchisor, walaupun dia tetap mandiri dalam bisnisnya sendiri.

i. Risiko bisnis franchisee berkurang sangat besar.

j. Franchisee mendapatkan jasa-jasa dari para staf lapangan franchisor yang berada di sana untuk membantunya mengatasi masalah-masalah yang mungkin timbul dari waktu ke waktu dalam pengelolaan bisnis.

k. Franchisee mendapat keuntungan dari penggunaan paten, merek dagang, hak cipta, rahasia dagang serta proses, formula, dan resep rahasia milik franchisor.

l. Franchisor mengumpulkan banyak informasi dan pengalaman yang tersedia sebanyak-banyaknya untuk dibagi kepada seluruh franchisee dalam sistemnya.

m. Kadang-kadang terdapat jaminan territorial untuk memastikan bahwa tidak ada franchisee lain di dalam wilayah bisnis franchise.

n. Dengan dukungan yang diberikan bank-bank kepada franchising, franchisee akan sangat mungkin mendapatkan akses ke sumber-sumber pinjaman dan syarat-syarat pinjaman yang tersedia baginya.

Kerugian-kerugian :

a. Tidak dapat dihindari bahwa hubungan antara franchisor dengan franchisee pasti melibatkan penekanan kontrol, karena kontrol tersebut akan mengatur kualitas jasa dan produk yang akan diberikan kepada masyarakat melaluhi franchisee.

b. Franchisee harus membayar kepada franchisor untuk jasa-jasa yang didapatkannya dan untuk penggunaan system, yaitu dengan uang franchise (franchise fee) pendahuluan dan uang franchise terus menerus.

c. Kesukaran dalam menilai kualitas franchisor.

d. Kontrak franchise akan berisi beberapa pembatasan terhadap bisnis yang difranchisekan.

e. Franchisee mungkin akan menemukan dirinya menjadi terlalu tergantung terhadap franchisor.

f. Kebijakan-kebijakan franchisor mungkin mempengaruhi keberuntungan franchisee.

Hubungan hukum antara franchisor dengan franchisee berdasarkan pada suatu kontrak hukum untuk menjalankan kegiatan waralaba. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan kontrak dibuat secara terperinci, yang terdiri dari[12]

1. Perencanaan dan identifikasi kepentingaan franchisor sebagai pemilik, hal ini tentunya akan menyangkut hal-hal seperti merek dagang, hak cipta dan system bisnis franchisor beserta know how.

2. Sifat serta luasnya hak-hak yang diberikan kepada franchisee, hal ini menyangkut wilayah operasi dan pemberian hak-hak secaraa formal untuk menggunakan merek dagang, nama dagang dan seterusnya.

3. Jangka waktu perjanjian. Prinsip dasar dalam mengatur hal ini bahwa hubungan franchise harus dapat bertahan pada jangka waktu yang lama, atau setidak-tidaknya selama waktu lima tahun dengan klausula kontrak franchise dapat diperpanjang.

4. Sifat dan luasnya jasa-jasa yang diberikan, baik pada masa-masa awal maupun selanjutnya. Ini akan menyangkut jasa-jasa pendahuluan yang memungkinkan franchisee untuk memulai, ditraining, dan dilengkapi dengan peralatan untuk melakukan bisnis. Pada masa selanjutnya, franchisor akan memberikan jasa-jasa secara terperinci hendaknya diatur dalam kontrak dan ia juga diperkenankan untuk memperkenalkan dan mengembangkan ide-ide baru.

5. Kewajiban-kewajiban awal dan selanjutnya dari franchisee. Ini akan mengatur kewajiban untuk menerima beban keuangan dalam mendirikan bisnis sesuai dengan persyaratan franchisor serta melaksanakan sesuai dengan system operasi, akunting dan administrasi lainnya untuk memastikan bahwa informasi yang penting tersedia untuk kedua belah pihak. Sistem-sistem ini akan dikemukakan dalam petunjuk operasional yang akan disampaikan kepada franchisee selama pelatihan dan akan terus tersedia sebagai pedoman/referensi setelah ia membuka bisnisnya.

6. Kontrol operasional terhadap franchisee. Kontrol-kontrol tersebut untuk memastikan bahwa standar operasional dikontrol secara layak, karena kegagalan untuk mempertahankan standar pada satu unit franchisee akan mengganggu keseluruhan jaringan franchise.

7. Penjualan bisnis. Salah satu kunci sukses dari franchising adalah motivasi yang ditanamkannya kepada franchisee, disertai sifat kewirausahaan franchisee, serta insentif yang dihasilkan dari capital gain. Untuk alasan ini, bisnis difranchisekan harus dapat dijual. Seorang franchisor hendaknya sangat selektif ketika mempertimbangkan lamaran dari franchisee, terutama terhadap orang-orang yang akan bergabung dengan jejaring dengan membeli bisnis dari franchise yang mapan.

8. Kematian franchisee. Untuk memberikan ketenangan bagi franchisee, harus dibuat ketentuan bahwa franchisisor akan memberikan bantuan untuk memungkinkan bisnis dipertahankan sebagai suatu asset yang perlu direalisir, atau jika tidak bisa diambil alih oleh ahli warisnya apabila ahli waris tersebut memenuhi syarat sebagai franchisee.

9. Arbitrase. Dalam kontrak sebaiknya ditentukan mengenai penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dengan melaluhi arbitrase, dengan harapan penyelesaiannya akan lebih cepat, murah dan tidak terbuka sengketanya kepada umum.

10 Berakhirnya kontrak dan akibat-akibatnya. Dalam kontrak harus selalu ada kektentuan yang mengatur mengenai berakhirnya perjanjian. Perlu ditambahkan dalam kontrak, franchisee mempunyai kewajiban selama jangka waktu tertentu untuk tidak bersaing dengan franchisor atau franchisee lainnya, juga tidak diperkenankan menggunakan sistem atau metode franchisor.

Pada hakikatnya, penerima waralaba (franchise) dalam menjalankan usahanya memakai sistem usaha yang diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor) bedasarkan suatu perjanjian. Dalam suatu Perjanjian Waralaba harus memuat mengenai :

1. Nama dan alamat perusahaan para pihak. 2. Nama dan jenis Hak Kekayaan Intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha seperti system manajemen, cara penjualan atau penataan atau distribusi yang merupakan karakteristik khusus yang menjadi obyek Waralaba. 3. Hak dan kewajiban para pihak serta bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada Penerima Waralaba. 4. Wilayah usaha Waralaba. 5. Jangka waktu perjanjian. 6. Perpanjangan, pengakhiran dan pemutusan perjanjian. 7. Cara penyelesaian perselisihan. 8. Tata cara pembayaran imbalan. 9. Pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada Penerima Waralaba. 10. Kepemilikan dan ahli waris.

Tak bisa dipungkiri bisnis jenis waralaba telah menjamur di Negeri ini. Kemajuan yang pesat di berbagai bidang. Terkait dengan perkembangan tersebut, Pemerintah memberi ruang gerak bagi perkembangan waralaba agar masyarakat dapat ikut berperan aktif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi secara kondusif.

Bisnis waralaba merupakan kegiatan usaha penjualan barang secara retail kepada masyarakat luas, begitu populernya kegiatan usaha ini, sehingga cepat sekali berkembang dan meliputi berbagai jenis bidang usaha. Di Indonesia, bisnis penjualan secara retail semacam waralaba mulai dikembangkan.[13]

Departemen Perdagangan baru saja menelurkan Peraturan Pemerintah tentang Waralaba. Satu lagi peraturan yang ditunggu-tunggu lahir. Ketentuan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba atau dalam bahasa asingnya, franchise. Peraturan ini menggantikan ketentuan sebelumnya, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997.

PP Waralaba (pasal dan ayat terpilih)

Pasal 1 ayat 1

“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba”.

Pasal 8

“Pemberi waralaba (franchisor, pewaralaba) wajib memberikan pembinaan dalam bentuk pelatihan, bimbingan operasional, manajemen, pemasaran, penelitian dan pengembangan kepada penerima waralaba (franchisee, terwaralaba) secara berkesinambungan”.

Pasal 9

(1) Pemberi waralaba dan penerima waralaba mengutamakan penggunaan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh pemberi waralaba.

(2) Pemberi waralaba harus bekerja sama dengan pengusaha kecil dan menengah di daerah setepat sebagai penerima waralaba atau pemasok barang dan/atau jasa sepanjang memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh pemberi waralaba.

Pasal 10 ayat 1

“Pemberi waralaba wajib mendaftarkan prospektus penawaran waralaba sebelum membuat perjanjian waralaba dengan penerima waralaba”.

Pasal 11 ayat 1

“Penerima waralaba wajib mendaftarkan perjanjian waralaba”.

Pasal 16

(1) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya masing-masing dapat mengenakan sanksi administratif bagi pemberi waralaba dan penerima waralaba yang melanggar ketentuan (Pasal 8, 10, dan/atau 11).

(2) Sanksi dapat berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda; dan/atau

c. pencabutan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW)[14].

Pasal 17

(1) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis dikenakan kepada pemberi waralaba dan penerima waralaba yang melanggar ketentuan.

(2) Peringatan tertulis dapat diberikan paling banyak 3 kali dalam tenggang waktu 2 minggu terhitung sejak tanggal surat peringatan sebelumnya diterbitkan.

Pasal 18

(1) Sanksi administratif berupa denda dikenakan kepada pemberi waralaba yang tidak melakukan pendaftaran prospektus atau penerima waralaba yang tidak melakukan pendaftaran perjanjian waralaba setelah diterbitkan surat peringatan tertulis ketiga.

(2) Denda dikenakan paling banyak Rp100 juta.

(3) Sanksi admiistratif berupa pencabutan STPW dikenakan kepada pemberi waralaba yang tidak melakukan pembinaan kepada penerima waralaba (Pasal 8) setelah diterbitkannya surat peringatan ketiga.

Pasal 19

(1) Perjanjian waralaba yang dibuat sebelum ditetapkan PP ini harus didaftarkan.

(2) Pendaftaran dilakukan paling lambat setahun sejak tanggal berlakunya PP ini.

Jika PP lama hanya mengatur kewajiban pendaftaran legalitas usaha bagi si franchisee. Kini, ketentuan itu juga berlaku bagi franchisor. Pendaftarannya ke kantor pusat Departemen Perdagangan. Soalnya, atensi lokal mendaftar ke Dinas Perdagangan masih rendah.

Dibandingkan dengan Malaysia, Indonesia masih kalah jauh dalam urusan ini. Di negara yang disebut sebagai saudara muda Indonesia itu, payung hukumnya sangat tegas dan kuat. Misalnya, hukum Malaysia mengharuskan kepada pewaralaba yang menawarkan peluang bisnis mendaftarkan perusahaannya lengkap dengan segala informasi yang diwajibkan untuk mendapat persetujuan lembaga yang ditunjuk pemerintah. Di Indonesia, Tidak ada aturan yang mengharuskan pewaralaba mendaftarkan diri lengkap dengan prospektus resmi penawaran peluang bisnis waralaba. Yang ada hanya persyaratan kejelasan informasi yang harus disampaikan kepada calon terwaralaba.

Hukum di Amerika juga mensyaratkan agar pewaralaba mendaftarkan informasi lengkap penawaran peluang waralabanya. Bahkan, sejumlah negara bagian di AS mengharuskan pendaftaran di setiap negara bagian tersebut jika ada investor yang ingin membeli waralaba, meskipun di negara bagian lain sudah tercatat (terdaftar). Dengan lemahnya payung hukum yang ada, para pemain, terutama pembeli hak waralaba menjadi kurang terlindungi.

Pembahasan

Pada umumnya dalam setiap perjanjian waralaba telah dicantumkan ketentuan atau klausula non-kompetisi (non-competition) bagi penerima waralaba yang dengan atau karena alasan apa pun diakhiri perjanjian waralabanya. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 diharapkan dapat mendorong pertumbuhan Pemberi Waralaba Lokal dengan membuat aturan yang merangsang perkembangannya, menciptakan iklim usaha yang mendorong Pemberi Waralaba Lokal bergairah melakukan ekspor waralaba ke pasar global, melindungi penerima waralaba dari persaingan usaha tidak sehat dan mengutamakan penggunaan produksi dalam negeri.

Peraturan Pemerintah ini harus mempertimbangkan keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Pasal 6 tentang klausul perjanjian, yang mengatur perjanjian waralaba tidak boleh memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 50 mengecualikan beberapa bidang tertentu. Misalnya untuk sektor usaha kecil dan menengah (UKM), termasuk juga waralaba.

“Yang dikecualikan dari ketentuan Undang-undang ini adalah:

... b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; ...”.

Perjanjian waralaba dan lisensi tidak mutlak dikecualikan UU No. 5 Tahun 1999. Sebab, apabila dikecualikan secara mutlak, waralaba sebagai suatu metode perluasan usaha sangat potensial mengarah pada praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Sebagai contoh di Amerika Serikat, dimana waralaba tidak dikecualikan oleh Anti Trust Law dan tetap tunduk pada ketentuan praktek bisnis yang sehat.[15]

Namun, Pasal 50 huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tegas menyebutkan bahwa perjanjian waralaba dikecualikan dari ketentuan undang-undang tersebut. Selain perjanjian waralaba, yang dikecualikan adalah lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang.

Bisnis kedua belah pihak sepenuhnya diatur melalui perjanjian waralaba. Masalahnya, belum ada aturan formal yang membatasi secara jelas hal-hal apa saja yang dilarang dan tidak dilarang dimuat dalam perjanjian waralaba. Sejumlah peraturan perundang-undangan hanya menyinggung soal pentingnya kerjasama bisnis pemilik hak kekayaan intelektual dengan pengusaha kecil seperti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995, yang mengaitkan waralaba dengan kemitraan. Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 hanya mengisyaratkan agar usaha waralaba memperhatikan perkembangan sosial dan ekonomi dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah.

Agar tidak keliru dalam menerapkan ketentuan Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menetapkan Keputusan tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 50 huruf b tentang Pengecualian Penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.

Pada hakikatnya, penerima waralaba (franchise) dalam menjalankan usahanya memakai sistem usaha yang diberikan oleh pemberi waralaba (franchisor) bedasarkan suatu perjanjian. Perjanjian antara pemberi dan penerima waralaba berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Asas kebebasan berkontrak[16] merupakan salah satu dasar yang harus dipatuhi oleh masing-masing pihak. Namun, karena suatu usaha waralaba adalah suatu sistem pemasaran yang vertikal, yakni pemberi waralaba bersedia menyerahkan semua sistem usaha waralabanya kepada penerima waralaba, maka perjanjian waralaba mencakup juga perjanjian lisensi yang merupakan salah satu jenis dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memberikan pengecualian untuk tidak memberikan ketentuannya terhadap perjanjian yang berkaitan dengan waralaba, yakni sebagaimana diatur dalam pasal 50 huruf b. Termasuk yang dikecualikan dari ketentuan Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah perjanjian yang berkaitan dengan HKI antara lain menguasai lisensi.

Namun, KPPU menganggap dalam praktek terdapat perjanjian yang terkait dengan waralaba yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Keadaan yang demikian tentunya tidak termasuk dalam katentuan Pasal 50 huruf b. Menyadari hal tersebut, maka penarapan ketentuan pengecualian dalam Pasal 50 huruf b Undang-Undnag Nomor 5 Tahun 1999 perlu diterapkan secara hati-hati dan bijaksana, sehingga tidak menyimpang dari tujuan pembentukan Undang-Undang tersebut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, antara lain untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif.[17]

Dengan demikian, perjanjian yang dikecualikan adalah perjanjian yang mengatur sistem waralaba dan pengalihan hak lisensi dari pemberi kepada penerima waralaba. Sedangkan tentang perjanjian yang dapat menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, walaupun berkaitan dengan waralaba, tidak termasuk yang dikecualikan. Oleh karena itu, jika dalam perjanjian yang berkaitan dengan waralaba terdapat unsur yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maka ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat diterapkan terhadap pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.

Dalam perjanjian, biasanya pemberi waralaba menetapkan berbagai persyaratan kepada penerima waralaba yang dimaksudkan untuk menjaga ciri khas usaha, standar pelayanan, dan barang dan atau jasa yang dipasarkan. Persyaratan yang demikian biasanya untuk menjaga HKI dan konsep waralaba itu sendiri sehingga dapat dikecualikan dari penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Namun, dalam praktek berbagai persyaratan perjanjian waralaba sering memuat klausula yang dapat menghambat atau memberikan batasan kepada penerima waralaba dalam menjalankan usahanya, sehingga berpotensi menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam hal terdapat persyaratan yang demikian, maka perjanjian waralaba tersebut tidak dikecualikan dari penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Selain itu perlu disadari juga bahwa dalam perjanjian waralaba dapat pula mengandung ketentuan atau klausul yang berpotensi menghambat persaingan, seperti penetapan harga jual, pembatasan pasokan, keharusan untuk membeli produk lain yang tidak terkait dengan waralaba dari pemberi waralaba, pembagian wilayah, dan larangan untuk melakukan kegiatan usaha yang sama setelah berakhirnya perjanjian waralaba. Klausul yang demikian berpotensi bertentangan dengan pencapaian tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang menginginkan adanya efisiensi, kesempatan berusaha yang sama bagi seluruh pelaku usaha, dan pengembangan teknologi.

Penutup

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang waralaba harus mempertimbangkan keberadaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Pasal 6 tentang klausul perjanjian, yang mengatur perjanjian waralaba tidak boleh memuat ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat

Perjanjian yang dikecualikan oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah perjanjian yang mengatur sistem waralaba dan pengalihan hak lisensi dari pemberi kepada penerima waralaba. Sedangkan tentang perjanjian yang dapat menyebabkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, walaupun berkaitan dengan waralaba, tidak termasuk yang dikecualikan. Oleh karena itu, jika dalam perjanjian yang berkaitan dengan waralaba terdapat unsur yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, maka ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat diterapkan terhadap pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut.

Saran

Pertumbuhan waralaba lokal cukup pesat yaitu sebesar 7% setiap tahunnya sedangkan waralaba asing 15% pertahunnya. Meski demikian, jumlah pewaralaba lokal tumbuh lebih cepat dari pada asing. Peraturan Pemerintah saja tidak cukup melindungi pengusaha lokal sehingga diperlukan Undang-undang. Tujuannya agar jangan sampai ada persaingan yang tidak fair dan untuk melindungi penerima waralaba dari tindakan curang pemberi waralaba.

Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa Peraturan Pemerintah ditetapkan untuk melaksanakan Undang-undang. Oleh karena itu, diperlukan Undang-undang perdagangan yang mengatur bisnis waralaba. Saat ini RUU Perdagangan masih dalam proses penyusunan dan belum disahkan. Dengan demikian, kemungkinan berubahnya substansi yang mengatur waralaba dan lisensi masih terbuka lebar.

Daftar Pustaka

Literatur

Gunawan Widjaja, 2001. Seri Hukum Bisnis Waralaba. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta;

_________________ 2002. Lisensi atau Waralaba Suatu Panduan Praktis. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta;

Martin Mendelshon, 1997. Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee. Pustaka Binama Pressindo, Jakarta.

Richard Burton Simatupang, 2003. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Rineka Cipta, Jakarta;

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Burgerlijke Wetboek, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1847 Nomor 23;

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Waraba. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 49;

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007. Tentang Waralaba

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba;

Website

Hukumonline, 2007. Beban Berat Bagi Pelaku Waralaba. www.hukumonline.com. diakses pada tanggal 12 Juni 2009

Hukumonline, 2007. Waralaba Berpotensi Mengarah ke Praktek Monopoli. www.hukumonline.com. diakses pada tanggal 12 Juni 2009

Yohanes Heidy Purnama, 2007. Epidemi Tren Konsep Bisnis Waralaba. www.franchise-indonesia.com. diakses pada tanggal 12 Juni 2009



[1] Yohanes Heidy Purnama, 2007. Epidemi Tren Konsep Bisnis Waralaba. www.franchise-indonesia.com. diakses pada tanggal 12 Juni 2009

[2] lisensi adalah suatu bentuk hak untuk melakukan satu atau serangkaian tindakan atau perbuatan, yang diberikan oleh mereka yang berwenang dalam bentuk izin. Tanpa adanya izin tersebut, maka tindakan atau perbuatan tersebut merupakan suatu tindakan yang terlarang, yang tidak sah, yang merupakan perbuatan melawan hukum (Gunawan Widjaja, 2001. Seri Hukum Bisnis Waralaba. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. hal. 3)

[3] Waralaba cenderung bersifat eksklusif. Seorang atau suatu pihak yang menerima waralaba tidaklah dimungkinkan untuk melakukan kegiatan lain yang sejenis atau yang berada dalam suatu lingkungan yang mungkin menimbulkan persaingan dengan kegiatan usaha waralaba yang diperoleh olehnya dari pemberi waralaba (Ibid, hal. 12)

[4] Perjanjian, menurut rumusan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, didefinisikan sebagai : ”Suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Jika kita perhatikan, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menyiratkan bahwa sesungguhnya dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari suatu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut. Rumusan tersebut memberikan konsekwensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang, bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum. Waralaba merupakan suatu perjanjian yang bertimbal balik karena, baik pemberi waralaba maupun penerima waralaba, keduanya berkewajiban untuk memenuhi prestasi tertentu. (Ibid, hal 76-77).

[5] Ibid, hal. 39-40

[6] Richard Burton Simatupang, 2003. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Rineka Cipta, Jakarta. hal. 52

[7] Gunawan Widjaja, 2002. Lisensi atau Waralaba Suatu Panduan Praktis. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. hal. 1

[8] Richard Burton Simatupang, Op. Cit.

[9] Waralaba dan lisensi adalah jenis dari Hak Kekayaan Intelektual. Baik waralaba maupun lisensi mensyaratkan sejumlah fee. Dalam waralaba, si terwaralaba wajib membayar franchise fee kepada pewaralaba. Demikian juga dengan lisensi. Bedanya, jika waralaba, pewaralaba sangat bertanggung jawab dan turut terjun membina terwaralaba di bidang pemasaran, kualitas produk, keuangan, dan hal lainnya. Sedangkan dalam lisensi, si pemilik lisensi hanya menitikberatkan kontrol kualitas (Hukumonline, 2007. Beban Berat Bagi Pelaku Waralaba. www.hukumonline.com. diakses pada tanggal 12 Juni 2009).

[10] Gunawan Widjaja, 2002, Op. Cit. hal. 47

[11] Martin Mendelshon, 1997. Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee. Pustaka Binama Pressindo, Jakarta. hal. 27-33

[12] Ibid hal. 58-63

[13] Banyak sekali bermunculan pebisnis-pebisnis lokal yang melirik penjualan barang atau jasanya secara waralaba, misalnya : Pertamina yang mempelopori penjualan retail bensin melalui lisensi pompa bensin. Ayam Goreng Wong Solo dan Tahu Tek-Tek, yang memperlopori bisnis waralaba di bidang makanan Es Teler 77 yang mempelopori dalam bidang minuman. Primagama yang mempelopori waralaba dalam bidang jasa pendidikan

[14] STPUW adalah: Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba yang selanjutnya disingkat STPUW adalah bukti pendaftaran yang diperoleh Penerima Waralaba setelah yang bersangkutan mengajukan permohonan STPUW dan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Keputusan ini (Pasal 1 angka 9 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba)

[15] Hukumonline, 2007. Waralaba Berpotensi Mengarah ke Praktek Monopoli. www.hukumonline.com. diakses pada tanggal 12 Juni 2009.

[16] Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

[17] Hukumonline, Ibid