Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia
Lahir di Kota Purbalingga, 29 Januari 1979, mendapat gelar Sarjana Hukum tahun 2006 di Universitas Jenderal Soedirman, dan dilanjutkan Pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Unsoed Tahun 2010. Motto : Menjadikan ilmu yang bermanfaat bagi sesama...

Rabu, 16 Juni 2010


KEADILAN RESTORATIF 
Oleh : Aris Sutanto

Istilah Keadilan restoratif biasanya disimbolkan ke Albert Eglash ( 1977 ) yang mencari perbedaan yang dia lihat antara 3 bentuk yang berbeda dari keadilan kriminal. Yang pertama adalah Keadilan retributif yang menitik beratkan pada menghukum pelaku atas apa yang mereka lakukan.  Yang kedua berhubungan dengan  apa yang dia sebut sebagai keadilan distributif yang menitik beratkan pada rehabilitasi pelaku. Yang ketiga adalah keadilan restoratif dimana dia secara luas  menyeimbangkannya  dengan prinsip-prinsip dasar penggantian kerugian. Mungkin dia adalah orang pertama yang menghubungkan istilah itu dengan pendekatan yang mencoba untuk menunjukan konsekuensi merugikan dari sebuah aksi pelaku pelanggaran, dengan mencari secara aktif melibatkan pelaku dan korban dalam proses yang ditujukan pada perbaikan untuk para korban dan rehabilitasi para pelaku (Van Ness dan Strong 1997).
Banyak dari Pembela keadilan restoratif berikut telah mencari untuk menggambarkannya sebagai penghidupan kembali dan sebuah tradisi yang lebih tua yang merusak pendekatan kontemporer keadilan kriminal terhadap kesalahan, daripada dengan alternatif yang lebih baru ditemukan. Dalam pencarian untuk menyangga asal-usul sejarah darikeadilan restoratif, mereka yang mengklaim bahwa prinsip dan praktek yang sejalan, secara umum diadopsi melalui masyarakat sosial pre-modern telah diambil secara seimbang untuk melebihkan dan untuk menginterpretasikan secara selektif bukti antropologis yang tersedia (baca  Daly, 2002a; 61-4; John Stone 2002: ch.3; Bottoms, 2003). Untuk sementara benar bahwa proses yang berdasarkan pada pengamanan rekonsiliasi dan perbaikan secara umum banyak ditemukan  pada masyarakat pre-modern yang benar ( Robert, 1979 ). Pada masyarakat sosial tersebut dimana hal itu muncul, tidak selalu satu-satunya metode untuk mengatasi konflik atau menjaga ketertiban.Terlebih lagi, kedua bentuk yang mereka ambil dan konteks yang dilakukan bisa bertentangan dengan pemahaman kontemporer dari proses keadilan restoratif, khususnya dengan penghormatan materi dari paksaan dan aturan yang dimainkan oleh berbagai macam sanksi. Jadi meskipun hitungan antropologi dan historis tentang proses-proses perbaikan keadilan bisa jadi sangat  menarik dalam hak mereka, tapi hal itu menyediakan ukuran dukungan yang sangat sedikit, atau bahkan tidak sama sekali mengenai praktek kontemporer keadilan restoratif. Ataupun tidak membantu perhitungan untuk keanekaragaman luar biasa tentang inisiasi keadilan restoratif yang telah terbentuk dalam beberapa tahun belakangan.
            Untuk memahami fenomena terakhir tersebut, bagian ini akan dimulai dengan memetakan akar intelektual dan filosofi yang telah membantu  untuk menyuburkan gerakan keadilan restoratif modern. Tiga  batas prinsipil akan diidentifikasi: Thesis Peradaban, Thesis Kemasyarakatan dan apa yang akan saya sebut sebagai Thesis Penyimpangan Moral, dan kemudian garis besar implikasi untuk korban dan sistem keadilan kriminalitas akan dipertimbangkan. Manifestasi prinsipil keadilan restoratif atau faktor-faktornya telah terinspirasi dan terbentuk oleh sumber-sumber dan intelektual yang akan dipertimbangkan kemudian, dan dugaan keuntungan untuk korban akan diidentifikasikan, sebelum memutuskan untuk mempertimbangkan fitur utama operasional dan konteks dimana hal-hal tersebut diimplementasikan. Bagian 5 akan mencoba untuk menyimpulkan performa dari proses keadilan restoratif secara mendasar, tapi tidak secara eksklusif, dari sudut pandang  korban, dalam sorotan bukti pengalaman terakhir. Bagian 6 akan kembali pada perihal utama yang telah diidentifikasikan dalam literatur ilmu tentang korban dan akan mempertimbangkan implikasi-implikasinya untuk keadilan restoratif.

Dasar-dasar Intelektual dari Gerakan Keadilan Restoratif

Dalil Peradaban
            Dalil Peradaban terhubung dengan kritik berkelanjutan tentang sistem peradilan kriminal kita, yang disibukkan dengan pemberian hukuman untuk pelaku, secara berlebihan, yang seringkali tidak pantas, atau tidak berperikemanusiaan, tanpa memperdulikan kepentingan korban yang telah disakiti oleh pelaku. Salah satu dari pengurai dalil ini yang paling awal dan tanpa kompromi adalah Gilbert Canton, yang baginya solusi yang paling jelas adalah memberadapkan baik arti maupun makna dari cara-cara untuk menghadapi para pelaku. Hal ini akan melibatkan rekonseptisasi pelanggaran sebagai kesalahan keberadaban, dan penggantian sebagai langkahlanjut  proses kriminal, hasil akhir yang akan menjadi lebih beradab pada pandangannya, ketimbang permainan  “pelanggaran dan hukuman”. Meskipun para residivis yang tidak bisa dibenahi akan diperlakukan sama, sekalipun penahanan akan menjadi jalan terakhir, bagi mereka yang menolak perintah pengadilan, karena dianggap menghina pengadilan.
            Dalil peradaban juga bergema pada kerja pengubah hukum pidana lain yang membela pengabdosian perbaikan atau pemberian ganti rugi sebagai alternatif yang konstruktif, dari bentuk hukuman yang konvensional. Mereka yang mencolok: Marjory Fry(1951,1959,lihat juga bagian 1) dari Inggris, Louk Hulsman (1981,1982,1986)di Belanda, dan di Amerika Serikat Randy Barnett(1977,1980;Barnett dan Hagel 1977) dan Charles Abel dan Frank Marsh (1984). Yang prinsipil dari semua itu adalah memberikan arti bagi janji perbaikan dari para pelaku, dan membantu memperbaiki kerugian pada korban. Akan tetapi, pedukung Dalil peradaban lain (seperti Stephen Schafer, 1960, 1968, 1970; Martin Wright; 1982) lebih menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan korban.
            Pada keluasan asli Dalil Peadaban, mengakibatkan 2 pembatasan jelas.Pertama menyangkut kerangka kerja institusional, mengingat bahwa kejahatan lebih baik dihadapi dengan pengadilan umum, dengan segala formalitasnya (dalam hal prosedur dan peraturan-peraturan).Yang kedua berhubung dengan jangkauan hasil akhir yang diperbolehkan, yang sebagian besar dibatasi oleh perbaikan secara fisik (seperti perbaikan atau pengembalian barang yang dicuri), atau finansial kompensasi.
            Adanya perkembangan penambahan variasi dalil peradaban secara luas, tetapi berakar pada Gerakan Mennoite Kristen, yang menitik beratkan pada nilai-nilai penyembuhan dan rekonsiliasi. Bukannya merancangkan tindak kriminalitas sebagai pelanggaran umum yang menempatkan korban pada pelaku saling bertentangan dalam urutan proses-proses formal, gerakan Mennonite ini lebih menitik beratkan pentingnya membawa korban dan pelaku untuk membahas pelanggaran tersebut. Filosofi ini menopang sebagian dari usaha-usaha awal untuk mengembangkan metode resolusi dari pelnggaran. Beberapa dari pembela Peradilan perbaikan awal yang terkenal,termasuk Howard Zehr dan Ron Classen adalah Mennonite sendiri. Mereka cukup terkemuka dalam perkembangan program mediasi pelaku korban, dimana pelaku dan korban dimotivasi dengan bantuan mediator untuk membahas kerusakan yang disebabkan oleh pelanggaran dan memperbaikinya.Karena hal ini mengakibatkan keterlibatan semua pihak, maka lebih potensial untuk menawarkan lingkup yang lebih luas soal pemberian kuasa, daripada pengadilan pidana maupun perdata.Terlebih lagi karena tidak dibatasi putusan yang dirumuskan oleh hukum sehingga pihak-pihak itu bebas memformulasikan putusan yang bersifat perbaikan di luar ganti rugi materi.

Dalil Kemasyarakatan
            Kemasyarakatan adalah filosofi politik dalam haknya, yang dapat dilihat sebagai pembelaan pihak ketiga antara kaum ekstrim kolekif dan ekstrim individualis.Dalam keadilan restoratif, dalil ini mengkonsentrasikan secara khusus mengkompromikan bebrapa elemen yang berhubungan. Berawal dari kritik terhadap sistem peradilan pidana, terutama tentang pemahaman pelanggaran sebagai”melawan negara”, tanpa memperdulikan korban hampir mirip dengan beberapa poin-poin dengan yang dihubungkan dengan dalil peradaban. Bagian-bagian dari itu yang menarik perhatian kaum komunitas ini termasuk para korban, diamana dirasa perlu untuk disediakannya cara-cara dan alternatif untuk restorasi dari pelanggaran. Permasalahan dari mediasi korban-pelaku menurut faham ini adalah kegagalan pengkhususan hubungan interpersonal antara korban dan pelaku dalam ukuran sosial, dan implikasi moral pelanggaran bukan hanya pada korban, tapi juga pada seluruh komunitas (Marshall,1994;Dignan dan Cavadino, 1996: 169)
Salah satu  dari pengurai dari dalil KEmasyarakatan yang paling awal dan berpengaruh adalah Nils Christie (1997), yang artikel “Conflicts as Property”nya menjadi klasik digabung dengan penyerangan pada “yang tidak terjadi“ yang dikarakterisasikan oleh proses pengadilan konvensional dengan visi alternatif didasari oleh “pengadilan lingkungan”
            Pengaruh kuat yang menjadikan dalil kemasyarakatan, akan tetapi menimbulkan beberapa pertanyaan penting yang sebagian besar tidak tercakup dalam literatur keadilan restoratif.
1.  Apa arti dari “Komunitas” dan bagaiman untuk konsep yang dapat dipahami dalam ketidak adaannya jenis-jenis komunitas yang ada pada masyarakat sosial modern , terutama yang menginspirasikan Christie dalam model pengadilan-pengadilan lingkungannya?
2.  Anggap bahwa istilah komunitas telah dapat dijabarkan secara memuaskan, bagaimana konsep itu dapat dijalankan, ketika memutuskan “siapa” tepatnya dari komunitas yangmusti berpartisipasi dalam keadilan restoratif?
3.  Apa kapasitas”Komunitas”atau perwakilan berperan serta dalam proses-proses keadilan restoratif (sebagi pengamat, korban, pembuat keputusan atau yang lainnya?)
4. Anggap “komunitas” dapat sesekali muncul dalam kapasitas sebagai korban (baik langsung maupun tidak langsung) sampai sejauh mana, perbaikannya, jika ada?
5.  Peran apa yang musti disetujui “komunitas” atau perwakilannya dan apakah (haruskah) dipengaruhi oleh kapasitas dimana ia berpartisipasi dalam proses?
6.  Apa yang terjadi jika “komunitas” dan korban tidak bermufakat, keputusan siapa yang harus didahulukan, dan siapa yang memutuskan?
7.  Asumsi-asumsi apa yang dibuat tentang “Komunitas” ketika merancang keadilan restoratif yang memperbolehkan partisipasi dari beberapa bentuk dari komunitas, dan bagaimana jika asumsi-asumsi ini tidak cocok dengan kenyataan?
8.  Apa jaminan yang dibutuhkan untuk memastikan kepentingan korban dan pelaku tidakmenimbulkan prasangka dengan kemungkinan konflik tersebut?

Sangat tidak mungkin untuk memberikan keadilan untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut pada poin ini, dan apa yang berikut ini adalah beberapa penilaian awal utama untuk pertanyaan 1,3 dan 5 (berhubungan dengan identitas, kapasitas, dan peran komunitas)
            Sangat sedikit dari pendukung dalil kemasyarakatan yang telah mencoba untuk mengatakan secar tepat apa yang mereka maksudkan dengan “masyarakat” walau beberapa telah mencoba menjabarkannya. Contohnya Walgrave (2000b:267), merujuk istilah tersebut bagaikan fatamorgana sesuatu yang ada jauh dimemori kita, tapi kita tidak dapat mewujudkannya secara nyata. Mc Cold (1996:91) telah menunjuk bahwa ada beberapa jenis tingkatan masyarakat dari “masyarakat-manusia” hingga pada masyarakat lokal, tapi inipun tidak dapat kurang menjelaskan secara spesifik ketika menentukan siapa yang ambil bagian dari perbaikan peradilan atas nama “masyarakat” lainnya, mungkin pengenalan Christie yang menyatakan sedikitnya lingkungan dalam kehidupan industri saat ini,  coba menjelaskan masyarakat tanpa referensi geografis atau parameter ruang. Braithware (1989:172-3),contohnya mengacu pada:”Komunitas-komunitas kepentingan” yang mungkin berdasarkan tempat kerja, pekerjaan, dan kegiatan rekereasi. Akhirnya Mc Cloud (1996:91) membuat referensi untuk masyarakat personal, seperti keluarga dan teman, dan juga komunitas sosial seperti sekolah, gereja-gereja dan komunitas organisasi.
            Pengertian “masyarakat personal” juga berhubungan dengan konsep dari “komunitas kepedulian yang digunaklan oelh beberapa pembela keadilan restoratif(contoh Braithware; 1999:17; Braithware dan Roche 2001) bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang mungkin diundang untuk berpartisipasi dalam proses pertemuan restorasi. “Komunitas Kepedulian diartikan sebagai sekelompok orang yang berkomitmen untuk peduli, mendukung, melindungi dan memotivasi seorang indvidu”. (Van Ness dan Crocker,2003), yang kadang mengacu pada pendukung baik untuk korban maupun pelaku. Bagaimanapun ini adalah definisi dangkal, karena hanyalah tambahan pendekatan bilateral yang berhubungan dengan pendukung dalil peradaban”(lihat juga Dignan,2002a:177), dan tidak mencakup “masyarakat luas”
            Pembela keadilan restoratiflain menjaga bahwa masyarakat yang lebih luas bisa saja mempunyai ketertarikan pada, atau peduli paling tidak pada beberapa tipe pelanggaran. Contohnya Mc Cold (1996:91), menegaskan bagaimana kita mendefinisikan “Komunitas” akan tegantung dari sifat dasar konflik termasuk tingkat kerusuhan yang diakibatkan, hubungan para pendebat dan pengumpulan yang dipresentasikan. Ketika pelanggaran relatif ringan terjadi pada dua orang lain yang saling mengenal, maka keterlibatan komunitas akan terbatas pada “Komunitas Kepedulian”.
            Ketika kerusakan lebih serius, korban adalah orang asing, dan tipe pelanggaran adalah yang menarik perhatian masyarakat luas. Meskipun Mc Cold sendiri tidak mengindikasikan seberapa luas ketertarikan masyarakat pada prosedur keadilan restoratif, tapi yang lain menegaskan ketertarikan masyarakat umum mungkin bisa dalam bentuk kapasitas resmi. Ambil kasus dari konferensi keadilan restoratifdimana pelanggaran melibatkan Pelanggaran norma sosial yang kurang ditekankan oleh apapun hasil yang telah dinegosiasikan oleh partisipan dan komunitas peduli masyarakat. Beberapa orang (Braithware dan Mugford, 1994:147; Moore 1993:30) telah beragumentasi tentang fasilitator dari konferensi-konferensi tersebut  semestinya mempunyai tugas untuk mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih luas, dan untuk memastikan bahwa ini juga ditujukan dalam penghasilan rencana. Disamping itu dengan ketidakhadiran dari mekanisme memuaskan untuk siapa yang dapat mewakili masyarakat yang lebih luas dalam proses perbaikan peradilan, seseorang menyerukan bahwa semestinya fasilitator bertindak sebagai perwakilan simbolis dari masyarakat umum atau “Komunitas Moral”.
            Meskipun sedikit pemikiran yang telah diberikan oleh mereka yang mendukung Dalil kemasyarakatan kepada beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan kapasitas yang mana komunitas, yang dijabarkan bisa berpartisipasi dalam proses perbaikan peradilan. Salah satu kapasitas jelas yang telah kita singgung adalah kepemilikan tidak langsung ketika protagonis meminta “Komunitas Kepedulian” mereka untuk menjadi suporter. Akan tetapi hal ini tidak menghilangkan kemungkinan-kemungkinan bahwa “masyarakat” juga bisa menjadi korban langsung mengenai beberapa jenis-jenis pekanggaran tertentu seperti pengrusakan  terhadapfasilitas umum seperti taman, perobatan jalanan, bangunan-bangunan atau bahkan sekolah komunitas lokal dan Rumah Sakit. Kadang sangat dimungkinkan untuk seseorang untuk mewakili kepentingan-kepentinagn organisasi komunitas meskipun tidak selalu jelas, siapa orang yang paling pantas untuk menjabat fungsi ini. Dalam banyak inisiasi keadilan restoratif, yang akan kita temui,”Komunitas-komunitas juga sering diserukan sebagai bentuk pengganti atau kuasa penuh korban, meskipun dalam kasus yang ringan, terutama ketika korban sebenarnya tidak mau ambil bagian dalam proses ini, dan atau tidak mempunyai kemauan untuk mendapatkan perbaikan secara langsung. Dalam kasus-kasus serius, beberapa pembela keadilan restoratif menggambarkan “masyarakat yang lebih luas” mempunyai ketertarikan pada hasil akhir proses peradilan, yang melebihi ketertarikan pemegang langsung. Pengacuan kapasitas tambahan ini sebagai:”perwakilan pemuliahan kepentingan” akan sangat membantu dalam pebedaan pemilik langsung/tidak langsung. Meski demikian, konsep dari “perwakilan pihak berkepentingan akan menimbulkan pertanyaan sulit lanjutan sehubungan dengan kapasitas perwakilan dari komunitas manapun dalam beberapa kasus, tapi lebih spesifik lagi peran yang diharapkan untuk dilakukan.
            Ketika “komunitas” terlibat dalam proses keadilan restoratif sebagai “pemilik kasus”langsung, peran perwakilan manapun diperdebatkan tidak kalah penting dengan kasus seorang korban personal, meski adanya kontribusi dalam pembahasan tentang apa yang perlu dilakukan demi korban dan pelaku. Ketika “komunitas bertindak sebgai perwakilan, akan lebih bergantung pada peran dan kapasitas perwakilan komunitas. Kemungkinannya adalah perwakilan tersebut hadir dalam proses itu sebagai saksi; atau penonton, dalam beberapa kasus, keseluruhan peran mereka adalah pasif dan tidak kontroversial. Ketika komunitas hadir untuk memperjuangkan kepentingan umum dan memiliki wewenang untuk mengusulkan atau hak membatalkan hasil ketentuan dari pendirian ini maka akan menimbulkan lebih banyak lagi perihal serius diatas keproporsionalan respon (Ashworth,2002:585). Hal-hal tersebut cenderung meminta jaminan kuat untuk melindungi kepentingan baik pelaku dan korban langsung.Tetapi juga menimbulkan kepedulian-kepedulian yang lebih luas mengenai asal dan identitas”komunitas” yang berkepentingan dapat diwakili dalam proses-proses seperti itu dan tujuan dimana perwakilan tersebut dipilih.
            Ada kecongkakan pada banyak dari literatur menyatakan bahwa “komunitas” secara umum sangatlah murah hati, toleran dan cenderung menggabungkan nilai-nilai progresif secara luas, dan bahwa kaum “komunitasme  adalah hal yang baik”. John Braithwaite (2000:122) menentang, bahwa Pemulihan Peradilan kontemporer dibentuk dari apa yang dia sebut sebagai “Komunitasme yang berpusat pada individualisme” telah membantu mengukuhkan sikap terhadap tulisannya tentang prinsip-prinsip dasar yang mendasari teori plitiknya tentang Keadilan Republik (lihat contoh, Braithwaite dan Pettit, 1990;Braithwaite dan Parker 1999).Tapi sementara Braithwaite sendiri kesulitan untuk menggambarkan ini sebagai sebuah teori norma yang ideal,dia dan lainnya telah mengingatkan bahwa sebagian dari komunitas dunia sebenarnya terhadap praktek-praktek Pemulihan Peradilan mana yang diperkenalkan tidak akan sesuai dengan Republikanya (Braithwaite dan Pettit, 1990:107; Crawford,1997,2000: 290-1, Dignan dan Lowey,2000:18-19).Banyak komunitas-komunitas yang ada tidaklah toleran,liberal,memaksakan,dan melakukan praktek-praktek eksklusifitas secara sosial dan menggabungkan bentuk dari “komunitasme yang tidak berpusat pada indivudualisme,tapi berpusat pada pihak penguasa,dan bersifat keras”. Dimana komunitas-komunitas tersebut mengakui mengadopsi praktek pemulihan peradilan,ada beberapa hal yang dapat dimengerti tentang sejauh mana permintaan dari komunitas dapat “mendompleng” diatas kepedulian terhadap hak dan kepentingan dari individu-individupara pelaku dan korban,terutama jika mereka tergolong dalam kelompok minoritas. Kepedulian tersebutditekankan ketika kepura-puraan proses keadilan restoratif bertujuan untuk dilakukan dalam prakteknya,berjalan tanpa adanya jaminan peradilan yang efektif.



Dalil Penyimpangan Moral
            Dalam sejarah Penologis ( ilmu tentang penghukuman ) Barat belakangan ini, penghukuman formal cenderung bergantung pada pengaplikasian sanksi “eksternal”, yang ditujukan langsung terhadap pelanggaran, kebalikan dari sanksi “intenal” yaitu yang lebih ditujukan pada hati nurani pelaku (lihat Cavadini dan Dignan,2002:167). Dalam beberapa tahun belakangan muncul respon alternatif, yang bisa dianggap sebagai : “Dalil Penyimpangan Moral”, yang bermula dari pemahaman bahwa hati nurani merupakan senjata yang paling ampuh dalam mengontrol tindak tanduk, daripada penghukuman (Braithwaite, 1989:71). Untuk membangunnya,diperlukan adanya dialog norma maupun moral dengan para pelaku,sebagai bagian dari respon terhadap pelanggaran yang terjadi.Salah satu penggagas dalil ini yang paling terkenal adalah John Braithwaite (1989,1999), yang teori “Pemulihan Harga Diri“ nya berpengaruh secara khusus.
            Teori pemulihan harga diri (rasa malu) ini menguatkan pernyataan yang menyatakan bahwa kejahatan harus dikonfrontasikan, bukannya diacuhkan atau ditolerir, dan cara-cara yang dilakukan, sangat berpengaruh pada efektifitasnya. Permasalahan pada respon Peradilan Kriminal formal adalah terkandungnya unsur pengrusakan atau pelemahan harga diri pada prosesnya,yang mengakibatkan stigmasisasi yang nyaris bersifat permanen.Karena rasa malu yang berkepanjangan dan sulit untuk dihilangkan itu,maka para pelaku kesulitan untuk kembali pada kehidupan normal setelah masa hukuman mereka selesai. Hal ini membuat para pelaku mempunyai kecenderungan menjadi seperti apa yang diramalkan para pencetus teori,dengan mencipatakan citra diri negatif yang menyimpang. Mereka akan cenderung menjadi orang buangan yang permanen. Hal ini menjelaskan kenapa pemberian cap negatif, sangat tidak membantu.
            Salah satu cara untuk menghindari siklus kejam ini,adalah dengan adanya pengadilan, tapi bukan dalam bentuk formal dan yang menyudutkan atau mengucilkan, tapi dengan menghadirkan korban, dan orang-orang terdekat, sembari terus menunjukkan rasa hormat sebagai individu. Menurut teori ini, kehadiran dan partisipasi aktif mereka akan membuat pelaku lebih berkewajiban untuk menghadapi pelanggarannya, dan lebih bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan. Ketika pelaku dipermalukan didepan pihak tersebut, akan lebih berpengaruh, daripada pelaku dihadapkan pada Hakim resmi. Bagaimanapun juga, yang terpenting adalahperlakuan tersebut harus dalam durasi yang terbatas, dan ketika hal itu timbul,harus diakhiri secara formal, sehingga fokus dapat beralih kepada perbaikan yang perlu dilakukan. Sekali lagi, kehadiran “ pihak penting” lainnya termasuk dari komunitas kepedulian sangatlah penting,baik untuk melawan efek disintegrasi dari stigmasisasi, dan pengidentifikasian, serta pengambilan langkah untuk mencegah terjadinya kembali pelanggaran itu.
            Teori “Pemulihan harga diri“ dari Braithwaite telah ditambah dan diperkuat oleh sarjana-sarjana lain yang tertarik pada pemahaman psikologis yang berasal dari “teori pengaruh” untuk menjelaskan emosi yang Braithwaite sendiri akui mendasari teorinya pada karya awal teori “pemulihan harga diri“ miliknya. Meskipun rasa malu adalah emosi normal yang berperan penting dalam menjaga hubungan sosial, tapi juga mempunyai konsekuensi yang merusak, apabila dipungkiri atau diacuhkan (Scheff dan Retzinger, 1991; Nathanson, 1992), karena dapat menyebabkan seseorang menjadi agresif terhadap diri sendir dan orang lain, atau mulai menjalankan strategi menghindar dan memungkiri. Keempat respon-respon tersebut merupakan “ Kompas Rasa Malu ” dari Nathanson (1992 ). Meski proses Pemulihan Peradilan dan terutama permusyawarakatan nya diakui oleh sebagian orang, bekerja dalam tradisi ini demi potensi membantu pelaku menghadapi konsekuensi tindakannya dalam tata cara yang membangun, tidak terelakan. Baik Moore dan Forsythe (1995), dan Retzinger dan Scheff (1996) telah berusaha mengidentifikasikan mekanisme dan stategi yang memungkinkan rasa malu digunakan dalam penekanan arti dari konflik yang terjadi, proses yang paling sukses adalah apa yang Retzinger dan Scheff ( 1996:316 ) sebut sebagai “ Langkah Inti “, yang terdiri dari 2 langkah berkelanjutan. Pertama, pelaku mengekspresikan rasa malu yang tulus dan penyesalannya terhadap apa yang mereka lakukan sebagai permintaan maaf, kemudian diikuti dengan korban yang mengambil langkah awal dengan memaafkan pelaku. Proses ini dinamakan “Perbaikan Simbolis“, meski Retzinger dan Scheff bukanlah satu-satunya yang menggunakan istilah tersebut.
            Kontributor lain untuk dalil ini adalah Anthony Duff dan Nicholas Tavuchis. Duff (1986) adalah yang pertama kali menggagas “Teori Komunikatif“ dari penghukuman, dimana dia mencoba untuk mengadakandialog moral dengan pelaku, mengecam perbuatan mereka dan berharap menimbulkan penyesalan dari mereka sebagai langkah awal dari pemulihan jalan mereka. Cavadino dan Dignan (2002 : 44) menunjuk bahwa karya awalnya mengandung unsur “pemulihan harga diri”, dan mendahului tema yang kemudian ditulis oleh Braithwaite. Terlebih lagi karya terbarunya (Duff, 2001, 2002, 2003) memfokuskan pada wilayah umum yang ia identifikasikan antara pendukung dari Pemulihan Peradilan, dan teori Peradilan Pembalasan.
            Kontribusi Tavuchis pada “Dalil Penyimpangan Moral “terdiri dari analisa sosiologi permintaan maaf yang merupakan mekanisme sosial yang membantu mendapatkan langkah inti darti proses Pemulihan Peradilan yang sukses (Retzinger dan Scheff, 1996: 321). Perhitungan Tavuchis belakangan ini telah dikaji secara utuh oleh Tony Bottoms ( 2003 : 94), yang menunjuk bahwa Tavuchis menawarkan tipikal hitungan ideal dari suksesnya permintaan maaf dari dua sudut pandang yang berbeda. Yang pertama berkaitan dengan konstektual struktur sosial dimana hal itu dilakukan, dengan anggapan bahwa hubungan kedua pihak berada dalam tingkat personal, atau paling itdak berasal dari komunitas moral/sosial yang sama, dan bentuk penyimpangannya pada dasarnya berulang kali (Bottoms, 2003:95). Dan yang kedua berhubungan dengan “pengalaman dinamis“ dari permintaaan maaf yang Tavuchis sendiri mengkarakterisasikannya sebagai “transaksi yang penting dan halus”,karena bergantung pada negoisasi serangkaian langkah sikap emosionaldari masing-masing pihak. Langkah yang pertama dari semua ini terdiri dari permintaan maaf dari pihak yang bersalah, atau perwakilannya, yang kedua adalah proses permintaan maapnya, dan yang ketiga adalah pemberian maaf dari korban. Bottoms (2003:96) tertarik pada observasi Tavuchis yang menyatakan bahwa jika langkah tersebut berhasil, mereka bisa mendapatkan mukjizat kualitas, tentang transformasi sosial yang bisa menghasilkan reuni dan rekonsiliasi antar pihak. Tavuchis mencatat : “Tidak peduli bagaimana efektif atau tulusnya permintaan maaf, tidak dapat merubah apa yang sudah terjadi. Tapi secara misterius dalam cara dan logikanya sendiri, hal itu dapat dengan cermat mengaturnya“ ( Tavuchis, 1991:5, juga disebut oleh Bottoms, 2003 : 95).
            Dalil Penyimpangan Moral mempunyai dampak yang nyata pada perkembangan praktek-praktek keadilan restoratif, terutama dalam hubungan dengan inisiasi  pemusyawarahan yang dipimpin oleh polisiyang secara langsung dipengaruhi oleh gagasan “ pemulihan harga diri “ oleh Braithwaite. Akan tetapi hampir sebagian besar komentator keadilan restoratif juga menempatkan penekanan pada pentingnya permintaaan maaf untuk menyelesaikan pelanggaran, apapun keterlibatan keadilan restoratif.Akan tetapi pemusatan permintaan maaf dalam tulisan-tulisan keadilan restoratif menimbulkan beberapa pertanyaan penting. Seperti yang telah ditulis oleh Bottoms (2003 :97) bentuk tipikal permintaan maaf yang bagi Tavuchis, Duff, dan yang lainnya acukan perluasan lingkup proses keadilan restoratif melibatkan paling tidak sepertiga pihak, dan dalam kasus inisiasi pemusyawarahan, dapat melebihi dari satu. Keterlibatan pihak ketiga tidak perlu melebih-lebihkan istilah “transaksi halus dan penting“ seperti yang dikatakan Tavuchis,tapi bahkan bisa membantu dalam negoisasi rangkaian langkah emosional dari permintaan maaf. Tapi keterlibatan mereka tentu mempengaruhi dinamika pertemuan, dan dapat menimbulkan komplikasi, kata Tavuchis ( 1995:52 ). Pertanyaan yang lebih penting lagi adalah apakah penawaran permintaan yang tulus dengan potensi penyembuhannya dapat difasilitasi dengan proses keadilan restoratif dalam masyarakat sosial kontemporer dimana konteks sosial dari pertemuan dapat saja berbeda dari apa yang diasumsikan dalam akun Tavuchis (Bottoms, 2003: 98). Seberapa proses itu mendalangi pertemuan yang menghasilkan permintaan maaf yang penuh arti dan memperbaiki, jika para protagonis tidak saling mengenal satu dengan lainnya? Atau bahkan bukan berasal dari lingkup sosial/moral yang sama? Dan seberapa sukses dalam situasi dimana semua pihak saling mengenal, dan mungkin terlibat dalam hubungan personal/sosial yang berkelanjutan? Kita akan kembali pada pertanyaan ini pada bagian 6.

Implikasi Kebijakan terhadap korban dan Sistem Peradilan Kriminal
_____________________________________________________________________
Sebelum melanjutkan untuk mengkaji varisasi dari inisiasi keadilan restoratif yang telah disebutkan oleh 3 tradisi filosofis dan intelektualitas, perlu juga merefleksikan secara singkat pada implikasi kebijakan terhadap korban dan Sistem Peradilan Umum.
            Dari sudut pandang korban, fitur yang paling mencolokdari ketiga intelektualitas pendahuluan  adalah sifat bertentangan yang mendalam terhadap korban. Mengacu pada Dalil Peradaban,kita telah mencatat, banyak pembela-pembela terdahulu termotivasi oleh perlakuan buruk yang dialami pelaku.Sekalipun hukuman yang berorientasikan dukungan untuk korban, perbaikan dan pemberian ganti rugi, merupakan cara yang paling efektif untuk merubah sistem penghukuman yang lebih luas. Melihat dari Dalil Komunitasme kita mencatat, soal potensi persinggungan antara kepentingan korban dan mereka yang berasal dari komunitas, dan ketidak pastian mengenai rancangan kepentingan yang menang, ketika terjadinya konflik. Dari Dalil Penyimpangan Moral, teori dari “Pemulihan Harga Diri“ dari Braithwaite dan teori Komunikatif dari Duff, keduanya berfokus pada pelanggar, dan sama-sama dikonsepkan untuk memberikan cara efektif untuk mengontrol kejahatan, ketimbang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan korban. Memang, korban jarang sekali menjadi fitur dalam karya Braithwaite yang mengejutkan pada Crime, Shame and Reintegration, dan bahkan tidak disebutkan sama sekali dalam perumusan alur gaya proses pemusyawarahan keadilan restoratif untuk menghadapi pelaku kriminal, sekalipun referensi yang dibuat atas partisipasi pelaku (Braithwaite, 1989: 173-4). Hanyalah teori Pemulihan Harga diri yang diuraikan dalam perkembangan praktek di New Zealand dan Australia dan diasimilisasikan dengan munculnya inti literatur soal keadilan restoratif yang potensi relevansi terhadap korbannya dikeluarkan (lihat contoh: Dignan, 1992:469, 1994; dan di Amerika Serikat Van Ness,  1993). Pertentangan mengenai korban tersebut tidak berarti menghasilkan inisiasi peradilan pemulihan, yang merugikan kepentingan korban, tapi ini berati tidak bisa secara langsung dianggap menguntungkan tanpa penetapan yang penuh perhitungan berdasarkan bukti-bukti pengalaman yang ada (lihat bagian 5).
            Dengan memperhatikan hubungan antara keadilan restoratif dan Sistem Peradilan Konvensional, pendahuluan-pendahuluan intelektual dari gerakan keadilan restoratif mengandung beberapa campuran pesan dan sedikitnya 3 garis besar kebijakan yang berbeda, yang untuk lebih mudahnya akan saya acukan sebagai “abolisonisme”, “separatisme“, dan “reformisme“ (lihat juga Dignan, 2002a: 178ff). Kita telah mencatat, bahwa banyak pendukung “Dalil Peradaban” terinspirasi oleh kritik radikal dari sistem penghukuman dan Peradilan Kriminal Konvensional, dan sebagian mensejajarkan diri dengan kritik kriminologis seperti Herman Bianchi (994) dan Willem de Haan (1990) dalam membela kebijakan abolisionisme total. Beberapa orang dalam gerakan keadilan restoratif telah mengadopsi posisi yang serupa, baik secara tegas seperti pada kasus Hulsman (1991), dan Van Swaaningen (1997) (lihat juga Bianchi dan Van Swaaningen, 1986) atau secara halus (baca Fattah, 1995, 1998; Zehr, 1990) dengan menyajikan keadilan restoratif sebagai paradigma alternatif yang mempunyai sedikit atau tidak sama sekali persamaan dengan sistem peradilan konvensional.
            Beberapa pembela keadilan restoratif mengambil pandangan lebih pragmatis, dan sementara mereka sependapat bahwa keadilan restoratif dan sistem peradilan kriminal konvensional secara fundamental tidak cocok, menerima bahwa prospek untuk penggantian atau penghilangan Sistem Peradilan Kriminal reguler sangatlah kecil di masa depan. (baca contoh Marshall, 1990; Marshall dan Merry, 1990; Wright, 1991; Davis et al., 1992).
            Solusi mereka berdasar pada sebuah pendekatan “separatisme“, dimana program-program keadilan restoratif harus berjalan seutuhnya diluar sistem peradilan kriminal dalam kapasitassebagai pelengkap, dikarenakan obyektifitas dan praktek-prakteknya sangat berbeda. Juga ada kekhawatiran bahwa nilai-nilai dan tujuan-tujuan tertentu dari program tersebut dapat “tercemari”, jika dijalankan secara bersama dalam sistem peradilan kriminal yang nilai-nilainya membahayakan keadilan restoratif.
            Yang terakhir, kelompok ketiga dari keadilan restoratif yang telah dikuatkan oleh pembela adalah pendekatan  “reformisme“ dengan memandang sistem peradilan kriminal dimana sistem tersebut dimodifikasi sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan restoratif, nilai-nilai, ketetapan, atau proses-prosesnya. Pendekatan Reformis meliputi jangkauan luas kemungkinan-kemingkinan,akan tetapi dianggap variatif menurut skala dan ambisinya. Pendekatan-pendekatan yang paling sederhana dihubungkan dengan beberapa pendukung terdahulu  dari “ Dalil Peradaban “ seperti Marjory Fry, yang mengkampanyekan hukuman pemberian ganti rugi atau perbaikan yang mereka anggap cara yang lebih membangun dan manusiawi dalam menghadapi para pelanggar. Jelas dimungkinkan untuk menyatukan ijin minor dari jenis ini (sama benarnya dengan potensi hukuman perbaikan yang lainnya, seperti pemberian kompensasi, perintah perbaikan, dan perintah pelayanan sosial), kedalam sistem peradilan kriminal, meskipun efek rata-rata dari keseluruhan sistem cenderung terbatas.
            Kemungkinan yang sedikit lebih radikal adalah untuk menyatukan praktek-praktek dan prinsip-prinsip keadilan restoratif kedalam sistem peradilan itu sendiri, sebuah pendekatan yang sering disebut sebagai “penggabungan”, meskipun lagi-lagi ada beberapa cara untuk mencobanya. Salah satu pilihan adalah untuk memperbolehkan pembuat keputusan peradilan kriminal untuk merinci intervensi keadilan restoratif sebagai alternatif agar lebih konvensional dalam menghadapi para pelaku dan korban mereka, pada kasus-kasus mereka. Pilihan lain adalah merumuskan proses-proses keadilan restoratif, speerti memusyawarahkan, sebagai jalan untuk kategori pelanggaran atau pelaku tertentu, seperti yang dilakukan New Zealand untuk pelaku dikalangan remaja (baca dibawah ini).Yang terakhir, pendekatan-pendekatan paling berambisi yang dilakukan kaum reformis adalah transformasi seutuhnya dari praktek-praktek peradilan kriminal saat ini, sehingga mereka semua sejauh mungkin menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai keadilan restoratif(baca contoh : Dignan, 1994, 2002a; Walgrave dan Aertsen, 1996).Mungkin akan berguna bagi kita untuk mengingat strategi-strategi kebijakan yang berbeda ini dalam mengkaji pendekatan-pendekatan keadilan restoratif yang berbeda-beda ini, yang akan dijabarkan lebih mendetail pada sesi berikutnya.

Jenis- jenis Pendekatan-pendekatan keadilan restoratif
_____________________________________________________________________
Sekarang setelah kita memeprhitungkan akar-akar filosofis dan teoritis utama dari gerakan keadilan restoratif, akan lebih mudah bagi kita untuk menghargai variasi-variasi dari inisiasi-inisiasi berdasarkan praktek-praktek yang telah menghasilkan dalam beberapa tahun terakhir, dan untuk memahami mengapa perlambangan label dari keadilan restoratif tetap menjadi kontroversi. Dalam menjaga untuk tetap dalam kerangka kerja analitik pada pengenalan, saya sekarang akan meneliti jangkauan luas dari pendekatan-pendekatan pemulihan yang diwakili 5 kategori / model. Tujuan dari ulasan ini adalah untuk menghubungkan kembali pendekatan pada kebiasaan intelektualitas/filosofis dimana hal tersebut dihubungkan, menimbang tujuannya (secara prinsipil tapi tidak keluar dari sudut pandang korban), komentar pada fitur operasional utamanya, dan menguji konteks dimana hal tersebut diimplementasikan (dengan acuan khusus pada Inggris Raya). Lima kategori utama dari pendekatan-pendekatan keadilan restoratif adalah sebagai berikut :
1.  Ukuran-ukuran pemberian ganti rugi dan Perbaikan Berdasarkan Sidang
2.  Program-program mediasi korban dan pelaku
3.  Inisiasi-inisiasi pemusyawarahan
4.  Komunitas panel-panel dan forum-forum perbaikan
5.  Lingkaran penyembuhan atau dakwaan

1.  Ukuran-ukuran Pemberian ganti rugi berdasarkan sidang
Garis besar: Asal dan tujuan
Beberapa perubahan dari sistem peradilan kriminal yang paling awal meliputi : para pelaku diharuskan untuk menyediakan ganti rugi finansial atau bentuk pengembalian lain untuk para korban mereka. Meskipun memiliki banyak kekurangan atribut-atribut yang seringkali dihubungkan dengan pendekatankeadilan restoratif,perubahan-perubahan tersebut tetap mempunyai hubungan dekat dan bersekutu dengannya.Memang, seringkalidihubungkan erat dalam praktekdengan inisiasi keadilan restoratif, terutama di Inggris,dan juga negara lain, untuk itulah mengapa hal ini dimasukkan pada bagian ini.Seperti yang telah kita lihat, pengenalan ukuran penggantian kerugian dan perbaikan dibela oleh para pendukung versi Dalil Peradaban. Meski motif mereka mungkin dipengaruhi oleh keinginan untuk memperbaiki perlakuan kasar yang dijatuhkan pada para pelaku, perubahan-perubahan tersebut juga ditujukan untuk salah satu kekurangan utama dari sistem peradilan kriminal konvensional, yang gagal dalam memahami secara cukup ataupun memeperbaiki kerugian personal yang dialami para korban dari suatu pelanggaran.
Fitur Opreasional
Tiga rangkaian utama dari ukuran pemberian ganti rugi atau perbaikan telah diperkenalkan di Inggris dan Wales ( dengan persamaan dengan hukum umum negara lain termasuk New Zealand ) dalam beberapa tahun terakhir. Yang pertama meliputi penguatan hak korban atas hak untuk mendapatkan kompensasi finansial dari pelakunya, dalam serangkaian perundang-undangan antara tahun 1972 dan 1988. Hasilnya, sekarang para pelaku diharuskan untuk membayar kompensasiuntuk semua cidera, kehilangan, atau kerusakan yang ditimbulkan dari suatu pelanggaran, baik sebagai hukuman, atau sebagai tambahan hukuman yang dijatuhkan, tanpa harus diminta oleh korban. Terlebih lagi, pengadilan telah diarahkan untuk mendahulukan pembayaran kompensasi daripada denda, ketika pelaku tidak mmapu untuk membayar keduanya,dan utnuk memberikan alasan untuk tidak menjatuhkan hukuman.Ini vberarti, paling tidak secara teoritis, mereka berkewajiban untuk mempertimbangkan menjatuhkan kompensasi di setiap kasus dimana pelanggaran menimbulkan cidera,kehilangan atau kerusakan pada properti pribadi. Meskipun kompensasi finansial dapat juga menjadi ketetapan proses-proses keadilan restoratif,satu perbedaaan penting adalah ketika produk diskusi melibatkan pelaku dan korban (perwakilan korban) untuk dilakukan, dan akan tetap menjadi sesuatu yang disetujui pelaku untuk dilakukan, daripada dipaksakan atau didorong oleh perintah-perintah pengadilan.
            Ukuran potensial perbaikan yang kedua adalah pengenalan pada perintah pelayanan sosial pada masyarakat pada tahun 1972, meskipun ini kurang memiliki relevansi langsung terhadap korban secara pribadi, karena melibatkan pembebanan atas bekerja secara sukarela dalam (dan biasanya untuk keuntungan) masyarakat. Pelayanan masyarakat dipandang sebagai bentuk keadilan restoratifoleh sebagian orang (contohnya Walgrave, 1999,2000b), meskipun tidak semua orang setuju dengan formulasi ini.Pelayanan pada masyarakat mungkin melibatkan komunitas dalam menentukan pekerjaan yang harus dilakukan oleh para pelaku (berhubung proyek tersebut sering kali membutuhkan arahan dan respon atas kebutuhan masyarakat sekitar) dan sering kali bisa menugntungkan komunitas terhadap pelanggaran yang mungkin dilakukan.Hal tersebut juga bisa disesuaikan dengan kemampuan individu pelaku (dengan menghubungkan proyek tersebut pada keahlian atau ketertarikan khusus mereka).Semua elemen-elemen tersebut konsisten dengan prinsip-prnsip keadilan restoratif,dalam memperbaiki kerusakan yang diakibatkan, membangkitkan rasa tanggung jawab pelaku, dan mengembalikan mereka kedalam masyarakat, jika dimungkinkan.Bagaimanapun juga, pelayanan masyarakat (seperti halnya perintah kompensasi), masih merupakan pemaksaanyang dibebankan, yang tidak sesuai dengan sudut pandang para pelaku.Meskipun dapat mewujudkan aspek perbaikan dan rehabilitatif, dapat juga lebih berkaitan langsung dengan elemen hukuman yang tidak sesuai dengan pendekatan keadilan restoratif.
            Ukuran perbaikan yang ketiga diperkenalkan sebagai bagin dari program perubahan secara luas untuk sistem peradilan kalangan remaja oleh Ketenaga kerjaan pemerintah yang diangkat pada tahun 1997, mengikuti periode lama kekosongan. Elemen-elemen pendekatan Peradilan pemulihan menginformasikan beberapa perubahan-perubahan tersebut, dan juga dibentuk oleh beberapa pengaruh lainnya, yang sama sekali tidak sesuai dengan filosofi atau prinsip-prinsip dasar dari keadilan restoratif. Hanya perubahan-perubahan yang telah dipengaruhi, paling tidak sebagian, dengan pemikiran restorasi kebijakan akan diperhitungkan disini, dan pembaca akan diarahkan pada sumber-sumber lain untuk lebih detailnya tentang perubahan program “peradilan untuk remaja” yang baru secara keseluruhan hingga seperti yang kita kenal saat ini (baca contoh: Cavadino dan Dignan, 2002: ch.9; Crawford dan Newburn, 2003ch.1; Bottoms dan Dignan, 2004). Ketertarikan Ketenaga kerjaan pemerintah pada filosofi keadilan restoratiftelah ditandai dalam “White Paper” yang memberi kuasanya pada “No More Excuses“  (Home Office, 1997), yang memprokalmirkan 3 prinsipil keadilan restoratif kedalam istilah “ 3Rs “ nya, yaitu :
            >>“Responsibility“ (tanggung jawab) dalam perihal pelaku remaja dan orang tua mereka
            >>”Restoration“ (pemulihan) meliputi pelaku reamaj meminta maaf kepada korban  dan membuat janji perbaikan atas apa yang telah mereka lakukan
            >>”Reintegration“ (penyatuan kembali) dimana pelaku remaja kembali pada masyarakat yang taat hukum, untuk membayar hutang pada masyarakat sosial dengan meninggalkan kejahatan mereka (baca juga NACRO, 1997; Dignan, 1999)
            Penerapan ketiga prinsipil tersebut adalah bukti kuat 3 set inisiasi yang terdapat dalam “Crime and Disorder Acts“ 1998 (Hukum kejahatan dan penyimpangan). Terdiri atas perubahan dari sistem untuk mengingatkan kembali untuk pelaku remaja, pengenalan pada sebuah “tingkat-awal“ hukuman untuk pelaku remaja, yang dikenal sebagai “perintah perbaikan“, dan sebagai tambahan dari hukuman kelas menengah yang baru yang dikenal sebagai “perintah rencana kerja “.
            Perubahan dari sistem peringatan pada awalnya adalah sebuah penggantian dari skema peringatan yang lama yang telah dikecam karena memperbolehkan pelaku untuk diperingatkan berulang-ulang (meski pada kenyataannya jarang dilakukan), dengan lebih banyak batasan skema perundang-undangan. Dibawah susunan yang dirubah,pelanggar remaja dapat berharap untuk dialihkan dari hukuman tak lebih dari dua kali, yang pertama melibatkan peringatan atau teguran yang mirip dengan peringatan polisi gaya lama, dan yang kedua melibatkan “peringatan terakhir” yang melibatkan lebih dari sekedar pemberitahuan. Pelaku yang telah diperingatkan juga dinilai berdasarkan kebutuhan untuk “program rehabilitasi“ (juga dikenal sebagai program pertukaran), yang meliputi variasi komponen-komponen termasuk permintaan maaf, dan atau melakukan perbaikan entah untuk korban maupun masyarakat.Perintah perbaikan dipandang sebagai “ongkos yang sangat murah“ yang harus dibayar oleh remaja untuk menggantikan hukuman persidangan, dikenal sebagai “pembebasan bersyarat“.Perintah perbaikan mengharuskan pelaku untuk mengambil semacam perbaikan baik untuk korban, maupun masyarakat, yang bentuknya masih lebih baik dibandingkan dengan kompensasi finansial (meski bisa saja terjadi, digabungkan). Juga bisa dalam bentuk surat permintaan maaf, atau bahkan kemungkinanmediasi antara korban dan pelaku, jika disetujui oleh korban. Pengadilan dapat mengeluarkan tenggat waktu maksimal 24 jam untuk dimulainya kegiatan perbaikan tersebut selama 3 bulan kedepan,dan bertanggung jawab untuk mempertimbangkan hukuman tersebut dimana mereka mempunyai kuasa untuk tidak membebankan hukuman yang lebih berat, karena perintah perbaikan tidak bisa dikombinasikan dengan penahanan lainnya.
            Rencana kerja tersebut dipertimbangkan sebagai intervensi intensif yang pendek (maksimum jang waktunya adalah 3 bulan), sesuai dengan pelaku remaja yang pertama kali melakukan pelanggaran, tapi cukup serius untuk diadili dengan tingkat menengah “ dakwaan masyarakat “. Penguatan fokus intervensi  ini juga mempunya dimensi perbaikan dan ditujukan untuk menggabungkan rehabilitasi, hukuman, dan perbaikan dengan pandangan dapat merubah kelakuan untuk melanggar, dan mencegah kejahatan yang lebih jauh (Home Office, 1997: para. 5. 18).
            Ketiga inisiasi membutuhkan konsultasi dengan korban-korbannya sebelum pelaku mengambil perbaikan langsung untuk mereka (temasuk permintaan maaf) dan semuanya menempatkan empasis yang kuat dalam perbaikan yang diinginkan sebagai elemen kunci pada setiap jenis intervensi. Memang,kegiatan perbaikan yang jenisnya sama diperbolehkan dalam setiap tipe intervensi, dan evaluasi dari dewan hukum kejahatan dan penyimpangan menemukan kenormalan dalam pengembangan program standar untuk memberi efek perbaikan yang lebih kuat pada setiap tipe intervensi yang dibutuhkan (Holdaway et al., 2001: 42). Dibandingkan dengan perintah kompensasi dan perintah pelayanan masyarakat, inisiasi Hukum Kejahatan dan Penyimpangan mewujudkan pendekatan pemulihan yang lebih penuh dengan diperlukannya pandangan dari para korban mereka. Akan tetapi, hal ini belum sepenuhnya pemulihan dalam hal, plaing tidak secara formal, masih berupa paksaan dari pengadilan yang dibebankan pada pelaku, bukannya dilakukan secara suka rela oleh pelaku, sebagai hasil dari semacam dialog atau komunikasi dengan korban (Wallis, 2003). Batasan-batasan ini dan yang lainnya telah menuntun saya pada kesimpulan di tahun 1999, bahwa meskipun hal tersebut telah dengan sukses diimplementasikan, perubahan itu masih sulit untuk dianggap sebagai “revolusi peradilan pemulihan “dengan mengesampingkan“ perubahan paradigma“ seperti yang diinginkan oleh sebagian pembela keadilan restoratif(Dignan, 1999 : 58).

Konteks Pengimplementasian
Ketiga set dari ukuran pemberian gati rugi, dan pebaikan-perintah kompensasi, pelayanan masyarakat, dan inisiasi perbaikan telah diperkenalkan secara perundang-undangan, dan paling tidak sampai sejauh itu, telah digabungkan menjadi “pokok“ dari respon peradilan kriminalitas untuk pelaku remaja. Terlebih lagi, baik perintah kompensasi dan perbaikan mengandung elemen keharusan yang mewajibkan pengadilan untuk memberikan pertimbangan pada posisis mereka dalam situasi tertentu, ketimbang menyerahkannya kepada rahasia pendakwa sepenuhnya. Dengan mengesampingkan  ketentuan yang berkubu tersebut, bagaimanapun juga ketiga set ukuran-ukuran tersebut terbukti problematis dari sudut pandang keadilan restoratif, seperti yang akan kita lihat pada bagian %.

2.Program Mediasi Korban dan Pelaku
Garis besar : Asal dan tujuan
Mediasi korban dan pelaku adalah pendirian terpanjang dari pendekatan utama keadilan restoratif, dan berasal dari tahun 1974 di Kitchener, Ontario, dimana sumber pengaruh utamanya adalah Gerakan Mennonite Kristen, dengan penekanan utamanya pada nila rekonsiliasi personal antara korban dan pelaku. Tulisan Howard Zehr (1985, 1990, 2002) yang juga mennonite, telah banyak mempromosikan dan mempopulerkan praktek mediaasi dan juga konsep dari keadilan restoratif, yang mana pada tulisan terdahulunya menyeimbangkannya dalam beberapa hari, sebelum permusyawarahan mulai dikenal.Sebagai  jenis program keadilan restoratif tertua  yang beroperasi di Amerika Utara, mediasi korban dan pelaku masih merupakan bentuk praktek dari keadilan restoratif yang lazim  di Amerika Serikat Menurut survey luas praktek keadilan restoratif yang dilakukan belakangan, disini terhitung lebih dari satu setengah dari semua program (51 %) (Schiff et al., 2001; Schiff dan Bazemore, 2002:182). Pertumbuhan mediasi di benua Eropa, serupa dengan disini, masih dalam bentuk praktek keadilan restoratifyang dominan (Miers, 2001) hampir pasti memiliki kurang dari versi “dalil peradaban” yang didasari keyakinan, dan lebih pada pengaruh tulisan Nils Christie.
Disini, grafik bayangannya tentang pencurian konflik interpersonal oleh negara bagian dan pejabatnya dan visi alternatifnya mengenai keadilan dimana pembicaranya ditempatkan pada sorotan (sebagai kebalikan dari dukungan dia untuk “dalil kemasyarakatan” nya) menjadi berpengaruh secara khusus. Sebagai tambahan, penyebaran ketidak puasan pada praktisi-praktisi dengan ketidak mampuan yang dirasakan dari sistem peradilan dan responnya terhadap pelaku remaja pada khususnya, telah menjadi faktor yang kontibutif dalam beberapa Negara Eropa seperti Belgia, Finlandia, dan Norwegia ( Miers, 2001:79 ). Lima tujuan utama dari mediasi adalah sebagai berikut :
  1. untuk mendukung proses penyembuhan untuk korban dengan menyediakan kesempatan dalam batasan sukarela yang ketat untuk bertemu dengan pelakunya, dan berpartisipasi dalam diskusi tentang bagaimana pelanggaran harus diselesaikan.
  2. untuk mendorong para pelaku untuk mengambil tanggung jawab langsung dengan meminta mereka mendengarkan pengaruh pelanggaran mereka pada korban, dan dengan menyediakan kesempatan untuk berpartisipasi dalam diskusi tentang bagaimana pelanggaran harus diselesaikan.
  3. untuk memfasilitasi dan mendukung sebuah proses yang memberikan wewenang dan memuaskan kedua pihak secara emosinal.
  4. untuk memperbaiki keseimbangan dengan mengganti penekanan dari kepentingan umum (seperti yang di paksakan oleh sistem peradilan konvensional) menjadi kepentingan interpersonal bagi mereka yang paling merasakan dampak dari pelangggaran itu.
  5. jika dikehendaki, untuk memungkinkan pihak-pihak untuk menyetujui suatu ketetapan yang ditujukan pada kerugian yang diakibatkan dari pelanggaran itu dalam kesopanan yang mutual dan pantas.

Fitur Operasional
Mediasi korban-pelaku melibatkan kesempatan untuk para korban dan pelaku yang ingin mendapatkan faedah dari peristiwa itu untuk mereka sendiri, dengan melibatkan diri kedalam proses dialog sehubungan dengan pelanggaran. Difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral, yang biasanya mediator terlatih, yang berperan sebagai intermediasi, atau kadang sebagai perantara untuk komunikasi, tapi tidak untuk mengusulkan atau membebani sebuah keputusan pada kedua pihak. Mediasi bertujuan untuk menyediakan seting yang aman dan struktural dimana kedua belah pihak bisa membahas kejahatan itu, kerusakan yang diakibatkan,dan cara-cara untuk membenahinya.
            Hampir sebagian besar program-program mediasi korban-pelaku (tidak seperti beberapa bentuk pertemuan, baca dibawah ini) menitik beratkan pada persiapan inisial dimana sering melibatkan satu atau lebih pertemuan dengan setiap pihak sebelum melakukan pertemuan tatap muka. Tujuan dari persiapan ini adalah untuk menjelaskan apa yang terlibat, menenangkan, mengidentifikasikan beberapa topik, dan harapan dari setiap pihak, dan memaksimalkan prospek untuk pertukaran langsung yang berarti bagi mereka. (Umbreit, 1994, 1997).
            Terkadang proses mediasi tidak mencapai sejauh pertemuan tatap muka (yang biasa disebut sebagai mediasi langsung), akan tetapi, mengambilbentuk semacam dialog terarah.
Disini, peran mediator  terbatas berperan sebagai perantara  dan mengkomunikasikan informasi, pandangan, dan perasaan antar pihak. Varian ini sering disebut sebagai mediasi “tidak langsung” dan “pengantar” dan pendekatan yang paling lazim pada beberapa juridiksi, termasuk Belanda (Miers, 2001: 80), Inggris, dan Wales tapi tidak di Amerika Utara dimana mediasi langsung adalah biasa (Umbreit dan Roberts, 1996). Salah satu dari problem-problem mediasi tidak langsung  (baca pembukaan) adalah dalam menentukan sejauh mana partisipasi dibutuhkan untuk menganggapnya sebagai intervensi dari keadilan restoratif, baik untuk keperluan audit atau evaluasi proses-proses keadilan restoratif(Miers et al., 2001 :25).
            Meskipun skema mediasi koban-pelaku, seperti namanya, tujuan utamanya adalah menyelesaikan pelanggaran kriminal, hal tersebut juga mempunyai penggabungan dengan inisiasi penyelesaian konflik yang lebih meluas, dan pelayanan mediasi masyarakat pada khususnya. Mediasi masyarakat menyediakan pelayanan mediasi yang lebih umum, menimbang variasi perdebatan dari berbagai jenis seperti perdebatan lingkungan,hingga yang melibatkan sikap anti sosial atau insiden tindak kejahatan pada tingkat rendah, terutama ketika adanya sejarah konflik antara kedua belah pihak. Beberapa perdebatan terkadang sangat kompleks, dan seringkali mengandung sangkaan atas kesalahan,  atau sikap yang tidak dipertimbangkan oleh kedua pihak. Secara konsekuen,satu dari perbedaan utama antara 2 pendekatan adalah mediasi masyarakat cenderung mengadopsi pendekatan “tidak menyalahkan“ yang sangat ketat,dan untuk memberikan penekanan yang lebih kuat pada kebutuhan, untuk menghindari konflik lebih lanjut pada masa mendatang, daripada mencoba untuk membagi tanggung jawab atau mendorong perbaikan untuk kesalahan masa lalu. Bagaimanapun juga, kedudukan diperumit oleh kenyataan bahwa sebagian rancangan menawarkan baik mediasi masyarakat, maupun pelayanan mediasi korban-pelaku. Perkembangan pararel lain yang berhubungan dengan pertumbuhan pelayanan penyelesaian konflik berdasarkan sekolah, termasuk penggunaan mediasi pengintaian, untuk memungkinkan murid membentuk keahlian-keahlian yang diperlukan dalam menyelesaiakan pertengkaran tempat main, atau konflik seperti pengisengan,

Konteks Pengimplementasian
Tidak seperti inisiasi perbaikan yang dibahas sebelumnya, inisiasi mediasi korban-pelaku di Inggris dan Wales belum tergabungkan secara sistematis kedalam proses peradilan kriminal seperti yang telah terjadi, paling tidak secara teoritis, dalam beberapa yuridiksi beberapa negara di benua Eropa. Di Inggris, susunan mediasi korban dan pelaku cenderung beroperasi secara khusus, berdiri sendiri, tanpa adanya otorisasi perundang-undangan secara khusus (baca Dignan dan Lowey, 2000:47). Hal ini telah memberikan Implikasi penting untuk ukuran mereka, pembagian geografis, ke organisasian, operasional dan kemampuan finansial. Hampir semua rancangan relatif kecil, dan kedaerahan, dengan karakter dibatasi oleh jangkauan geografis, yang mengakibatkan tidak meratanya dan tidak konsistennya pembagian pada bagian negara yang lain. Beberapa skema dan bertumpu pada sumber pembiayaan yang berlainan. Karena mereka tidak bergabung kedalam proses peradilan kriminal reguler, semua badan mediasi korban-pelaku bergantung pada kelangsungan pada kebutuhan untuk mengolah hubungan-hubungan kerja yang baik dengan semua agen-agen peradilan kriminal yang relevan untuk referensid mereka, hampir semuanya mengalami kesulitan untuk mendapatkan beberapa referensi yang cukup (marshall dan merry, 1990: 240, dignan dan lowey, 2000:48). Terlebih lagi, sesungguhnya semua skema mediasi korban pelaku di inggris, termasuk yang berada dalam organisasi berdasar undang-undang, menderita kendala sumber dan ketidakpastian akut perihal pendanaan di masa datang (Miers et al., 2001:26), yang menimbulkan pertanyaan sangat serius tentang kemampuan finasial jangka panjang untuk jenis penerapan ini secara umum, sepertinya tak terhindari jika skema mediasi (atau bentuk-bentuk lain dari peradilan pemulihan) terus beroperasi secara khusus seperti ini, berdiri sendiri, mereka dalam prakteknya akan mengalami ketidak tentuan marginal dan ekstensi dalam lingkup luar sistem peradilan kriminal (Dignan dan Lowey; 2000 : 48).
            Rancangan mediasi korban-pelaku juga beragam dalam hal tahapan dari proses peradilan ke kriminal dimana mereka ingin beroprasi. Pada masa-masa awal (dari sekitar tahun 1980 sampai dengan penerapan hukum kejahatan dan penyimpangan 1998), hampir semua skema tersebut beroprasi pada       tahap pre-persidangan, diperuntukan untuk digunakan dalam hubungan dengan hati-hati sebagi dari pembelokan.Seringkali disebut sebagai skema “ekstra hati-hati”kebanyakan ditujukan untuk pelaku-pelaku remaja dibawah umur, tapi salah satu yang terbaik dan paling sukses juga dgunakan untuk pelaku dewasa, yang tidak semua kasusnya biasa. Skema-skema lain diperuntukan untuk beroprasi pada tahap dakwaan mengikuti hukuman pelaku, meski beberapa orang menerima rujukan pada setiap tahap proses peradilan kriminal dan satu berfokus pada pelaku serius, termasuk mereka yang didakwa oleh Pengadilan Negri untuk ditahan.
Sikap pemerintah terhadap mediasi korban pelaku di negri Inggris dan wales telah mengalami pasang surut dalam beberapa tahun ini. Pada tahun 1985 Home Office Wales mendanai beberapa skema mediasi dan perbaikan (berbasis di Conventry, Cumbria, Leeds Walker Hapipton) dan juga memberi kontribusi pada evakuasi dari skema-skema itu dan yang lainnya. Akan tetapi, pendanaan tidak berlanjut setelah masa perintis, publikasi laporan evaluasi resmi (Marshal dan Merry, 1990) ditunda, dan kepedulian pemerintah pun memudar. Menurut salh seorang komentator yang diinformasikan (yang dirinya juga terlibat dalam beberapa evakuasi), hal ini bukan disebabkan karena penemuan negatif dari evakuasi, tapi karena perbedaan opini antar pembuat kebijakan dan praktisi, tentang bagaimana cara-cara mediasidan koreksi mesti berkembang dimasa depan (Davis, 1992:34-40).
            Prospek dari ekstensi yang jelas dari mediasi korban-pelaku manapun tetap suram sampai pada pengenalan dari inisiasi-inisiasi ditangani dalam sesi sebelumnya, paling tidak dalam prinsipil, menciptakan lingkup yang lebih luas untuk perkembangan mediasi sebagai salah satu intervensi koreksi yang tersedia ketika menangani pelaku remaja. Terlebih lagi, penambahan pendanaan yang jelas juga disediakan oleh Forum Peradilan Remaja untuk menstimulasi perkembangan dari beragam pendekatan, keadilan restoratif, termasuk mediasi korban pelaku. Tetapi pada prakteknya, perkembangan mediasi relatif rendah, dan evakuasidari skema perintis peradilan remaja menemukan hanya 9% dari kasus-kasus yang ditangani dalam pemerintah perbaikan, dihasilkandalam mediasi antara korban dan pelaku, hampir dipastikan sebagai hasil dari kesulitan pengimplementasian diacukan diawal pembicaraan (Holdway et al, 2001:89).
            Terakhir pada tahun 2001 pemerintah meluncurkan evaluasi dari tiga skema keadilan restoratif yang berfokus pada para pelaku dewasa, satu diantaranya (Remedi, diselatan Yorkshire), yang utamanya terlibat dalam kelengkapan pelayanan mediasi, baik langsung dan tidak langsung (Shapland et al.,2002). Akan tetapi sebagaimana Crawford dan Newborn(2003:27) telah mengamati, dalam berbagi cara, mediasi pelaku-korban telah diatasi oleh perkembangan-perkembangan terakhir dalam “permusyawarahan” yang memiliki sebuah nodel alternatif dari keadilan restoratif.


Inisiasi Permusyawarahan Restoratif
Garis besar : Asal dan tujuan
Istilah “permusyawarahan” diaplikasikan dalam buku ini untuk bentuk ketiga yang cukup jauh dari pendekatan keadilan restoratif, meski istilah tersebut digunakan juga oleh beberapa literatur keadilan restoratif, sedikit membingungkan sebagai label generik hampir sebagai sinonim untuk seluruh jangkauan proses-proses keadilan restoratif. Terlebih lagi, kedudukanya dibingungkan lebih jauh lagi oleh kenyataan bahwa model permusyawarahan itu sendiri meliputi dua varian prinsipil yang diacukan dalam buku ini sebagai “pemusyawarahan kelompok keluarga” pada satu sisi, dan “permusyawarahan masyarakat yang dipimpin oleh polisi” disisi lain. Seperti yang  akan kita lihat, ada beberapa perbedaan-perbedaan penting diantara mereka perihal asal usul mereka, dan pondasi pondasi teoritisnya, elemen-elemen tertentu dari praktek operasional mereka, termasuk peran dari para korban dan juga institusionalisme dalam kerangka kerja yang mana telah mereka memplementasikan. Perbedaan-perbedaan tersebut adalah penting ketika pada saat menetapkan evaluasi berdasarkan pengalaman tentang praktek-praktek keadilan restoratif seperti yang akan kita lihat pada bagian lima.
            Pemusyawarahan kelompok keluarga berasal dari Selandia Baru yang diinspirasikan oleh konstelasi dari faktor faktor yang memuncak dalam aturan Hukum Anak-anak Pemuda, dan Keluarganya 1989.salh satu yang terpenting adalah pengawasan defisik legitimasi sebagai bagian dari peradilan kriminal dan sistem kesejahteraan keluarga, dengan memandang perlakuan terhadap kelompok pelaku minoritas, terutama mereka yang berasal dari komunitas Maori, tapi dengan Pulau Pasifik Polenesian (Maxwell dan Morris ; 1993 ; Daly, 2001, 2002a). sampai pada batas yang mewakili usaha mengembangkan cara yang lebih berbudaya, sensitif, dan sesuai untuk menanggapi tingkah laku pelanggaran, varian permusyawarahan kelompok keluarga menarik sebuah rentangan penting dalam Dalil kemasyarakatan yang dibahas, meskipun seperti yang akan kita lihat, secara sendiri, mengingkari aspek aspek lain dari dalil ini. Faktor kedua yang membantu perkembangan pertemuan kelompok keluarga ini adalah komitmen landasan “kesejahteraan” untuk mendorong keluarga-keluarga muda yang direferensikan ke agen-agen profesional ataupun pengadilan baik dalam lingkup pelanggaran, maupun perlindungan anak (masters, 2002 : 45). Faktor ketiga yang memberi konstribusi pada perkembangan sidang kelompok keluarga di Selandia Baru adalah pengaruh pertumbuhan gerakan korban, yang pada tahun 1989 telah menginspirasikan beberapa reformasi meski tidak secara khusus dalam hal sistam peradilan untuk pemuda itu sendiri (Morris dan Maxwell, 2000:221, n.7). Ketiga set faktor-faktor tersebut tercermin dalam operasi sidang kelompok keluarga, seperti yang akan kita lihat.
            Sidang Komunitas dipimpin oleh polisi berasal dari Australia pada awal 1990 dan berbeda dari hampir semua pendekatan peradilan pemulihan lainnya, termasuk sidang kelompok keluarga dalam hal asal-usul intelektual filosofis. Tidak seperti bidang kelompok keluarga, sidang ini secara sadar membawa hampir dari permulaan dari “teori Pemulihan Harga diri” dr Braithwaite, yang kita telah lihat membentuk bagian “Dalil Penyimpangan Moral”. Seperti yang dikerjakan oleh Braith waite sendiri, teori pemulihan harga diri juga menyatakan pemikiran kaum komunitasme khususnya tentang teori normatifnya dan Pettit (1990) “Peradilan Republikan”. Seperti yang akan kita lihat elemen tersebut sangat tercermin jelas dalam praktek ini. Beda jenis ini dari sidang kelompok keluarga, juga karena dirintis oleh ahli kelas menengah dan admin-admin, khususnya dalam kepolisian, pada kota kecil Waga-waga di New South wales (Daly,2001: 61). Proses awal ini cukup berbeda dari kombinasi kegiatan “atas bawah dan “bawah atas”(sebagai bagian masing-masing dari pejabat negri dan tenaga profesional dan kelompok Maori) yang memberikan kontribusi pada pendekatan sidang kelompok keluarga di Selandia Keluarga di Selandia Baru (Minsterial Advisory comitee, 1988).

Fitur operasional.
Menyangkut perihal fitur operasionalnya, salah satu perbedaan dan terbesar antara kedua varian varian sidang berhubungan dengan identitas pemilik kunci (baca pembukaan). Dalam proses dan secara khusus pada jangkauan keterlibatan dalam masyarakat yang lebih luas. Dalam sidang ini, garis batas-batasan diambil untuk menjaga dua set topik. Dengan demikian, hanya para korban dan pelakulah yang bisa menghadiri sidang dan berperan aktif (Morris dan Maxwell, 2000:215). Pendukung kedua pihak yang membentuk bagian untuk “Masyarakat kepedulian” atau “Masyarakat berkempentingan” dianggap sebagai pemilik tidak langsung meski peran mereka dianggap sebagai “pendukung”. “Konsep Komunitas pelanggaran” ini lebih dangkal dalm jangkauan dibandingkan penafsiran “komunitas dalam model ini (dignan. 2002 a:177).
            Disini, anggota-anggota dari masyarakat yang lebih luas dapat diundang untuk berpartisipasi, meski mereka bukan berasal dari komunitas tersebut diatas.Dalam sidang RISE di Canbera, Australia misalnya, anggota masyarakat dapat diundang untuk berpartisipasi, dalam kasus yang tidak melibatkan korban langsung, seperti pelanggaran mengemudi sambil mabuk (baca Sherman, et al. 2000).Perbedaan sikap ini disesuaikan dengan perbedaan para korban tersebut di konseptisasi.Dengan demikian jenis sidang ini lebih kepada pelanggaran yang melibatkan beberapa korban sekaligus (young, 200; baca juga masters, 2007).Sebagai tambahan dalam masyarakat luas mereka juga melibatkan anggota keluarga pelaku dan bahkan para pelaku itu sendiri.Diantaranya juga pernah menjadi korban dalam hidupnya terlepas dari ada tidaknya kontribusi pada kasus tersebut. Hal ini diharapkan dapat menjadikan dampak positif yang lebih luas bagi masyarakat untuk peduli dengan lingkungan, untuk menentukan putusan pelanggaran seperti itu (Schift. 2003:32)
            Model perbedaan lain yang berkaitan erat adalah peran korban dalam proses sidang dalam sidang kelompok keluarga Moriss dan Maxwell (2000:211) menjelaskan peran korban dan pelaku. Sebagai berpartisipasi dalam memutuskan cara terbaik untuk menghadapinya, dan membuat perjanjian. Salah satu tujuannya adalah memenuhi kebutuhan korban dan membuat korban merasa lebih baik atas apa yang telah terjadi, menyediakan rekonsiliasi antar pihak, memfasilitasi persetujuan utuk putusan yang memperbaiki, dan menghubungkan kembali kedua pihak dengan masyarakat.
            Pada kasus model sidang masyarakat dipimpin oleh polisi semua pihak termasuk korban dikatakan mempunyai peran dalam proses “Pemulihan harga Diri”, meski dikritik oleh pendukung dari sidang kelompok keluarga, juga kaum sheptis dari keadilan restoratif secara umum. Para pencetus (contoh. Morris dan Maxwell, 200:216: lihat juga Young , 2001:201) keberatan tentang korban yang dicap dalam peran sebagai “yang tercoreng” dan menyarankan jika ini terjadi akan kurang menghasilkan rekonsiliasi kaum skeptis seperti Ashworth (2006:186) keberatan jika beberapa “pelacuran korban” dimana korban secara efektif “dimanfaatkan” untuk membawa dampak khusus pada pelaku dengan pandangan untuk mengurangi insiden pelanggaran ulang.
            Juga secara prosedur, perbedaan penting lainnya mengalir secara langsung dari hubungan teori “perbaikan harga diri” oleh Braithwaite, bahwa  jenis sidang mengadopsi format “tertulis” yang maksudnya koordinator bisa menanyakan pertanyaan yang serupa kepada setiap partisipasi sesuai urutan. Tujuannya adalah untuk menutupi malu dari pelaku, dengan menanyakan pelaku, korban langsung dan pendukung setiap pihak tanpa mempermalukan pelaku sebagai individu.Tujuan kedua adalah untuk memfasilitasi penyatuan kembali pelaku kedalam masyarakat taat hukum dengan menghindari konsekuensi negatif dari “rasa malu stigmatis” (Braighwaite dan Mugford, 1994).Salah satu caranya adalah untuk mengekpos kelebihan dan aspek positif dari karakter pelaku, daripada berkonsentrasi secara khusus pada kesalahannya.Sidang kelompok keluarga, dalam perbedaan jelas, sangat kurang “ditata” oleh koordinator. Konsekuensinya, apa yang telah dijabarkan dalam proses penyelesaian pelanggaran (Masters, 2002 ; 49) dapat berbeda-beda dalam hal perintah langkah selanjutnya (Morris dan Maxwel, 2000 ; 209) dan juga, mungkin pertukaran alamiahnya.
            Perbedaan secara prosedur yang kedua adalah gaya kelompok keluarga selandia baru lebih menaruh penekanan pada kebutuhan dan nilai persiapan semua pihak pada masa pra sidang dibandingkan dengan sidang yang dipimpin oleh polisi. Keduanya sama-sama memberi penekanan pada spontanitas, meski bentuk tertulis akan membuat pertemuan lebih terarah dan jelas.Sama-sama memberi penekanan pada spontanitas, meski bentuk tertulis akan membuat pertemuan lebih terarah dan jelas. Perbedaan ketiga adalah sidang kelompok keluarga melibatkan fase tambahan, yang disebut tahap perencanaan kerja (Masters, 2002 : 49). Selama periode ini, seorang ahli dan korban yang hadir pada tahap ini membiarkan remaja dan keluarganya untuk membahas secara privat rencana dan rekomendasi yang akan mereka ajukan. Setelah ini selesai maka semuanya dapat membahas langkah-langkah yang perlu dilakukan, dan agar diterima oleh semua pihak.Dan detail dari perjanjian dapat direkam secara formal. Sidang masyarakat yang dipimpin oleh polisi kurang akan fitur tersebut, yang tercermin dalam komitmen berlandaskan kesejahteraan keluarga untuk pemberian kuasa pada keluarga seperti yang telah disebut diatas, adalah faktor yang memotivasi dibelakang pendekatan di selandia baru.

Konteks Pengimplementasikan
Konteks pengimplementasikan untuk kedua set varian-varian tersebut telah makin bervariasi seiring penyebaran mereka, dengan kecepatan yang menakjubkan, diluar tempat asal mereka.
Salah satu aspek-aspek tersendiri dari sidang kelompok keluarga di selandia baru adalah tidak hanya telah “digaris utama” kan tapi membentuk penyatuan secara penuh dan memang elemen pusat dalam sistem peradilan yang dirubah. Tidak semua pelaku remaja disidangkan, mengingat mayoritasnya dibelokkan dari dakwaan dari polisi, dan dihadapi dengan maksud peringatan yang ditujukan langsung atau dengan resolusi pelanggaran informan yang dikoordinir oleh polisi bantuan pemuda, figur-figur berhubungan dengan bagian dari pelaku remaja yang dihadapi dengan sidang kelompok keluarga bervariasi, dari 15% s/d 20% (Morris, 2002:602) hingga antara 20%-30% (Daly, 2001:70). Akan tetapi, aspek yang paling penting adalah dalam kerangkakerja yang dilandasi perundang-undangan yang diperkenalkan oleh hukum Anank-anak, Remaja dan keluarganya pada tahun 1989, pemuda tidak bisa dihukum kecuali mereka telah ditahan oleh polisi atau dirujuk pada sidang kelompok keluarga, yang kemudian merekomendasikan dakwaan. Terlebih lagi, meski remaja itu didakwa, hakim-hakim tidak dapat membuang pelanggaran dalam hampir setiap kasus, tanpa acuan rekomendasi sidang kelompok keluarga (Morris dan Maxwell, 2000: 208). Secara konsekuen, sidang ini digunakan pada prakteknya digunakan untuk semua pelanggaran serius dan kelas menengah, dengan pengecualian pembunuhan dan pembantaian, dimana hampir semua yuridiksi telah menggunakan sidang permusyawarahan (yang mana merupakan bentuk lain dari keadilan restoratif), khususnya untuk pelanggaran yang kurang serius daripada itu.
Ciri khas lain dari gaya sidang ini adalah para koordinator dipekerjakan oleh Departemen Kesejahteraan Sosial, yang terutama bertanggungjawab mengenai perawatan dan perlingdungan anak, meski telah berpindah menjadi departemen yang berdiri sendiri yang berurusan dengan hal-hal mengenai peradilan remaja.
            Sidang permusyawarahan kelompok keluarga yang telah mejadi bagian inti denagn dukungan perundangan-undangan di 5 negara bagian Australia, dan 3 diantaranya (New South Wales, South Australia, Western Australia) menyidangkan volume tinggi pelaku remaja tiap tahun (Daly, 2001:62-4).Tidak seperti Selandia Baru pendekatan cenderung digunakan untuk pelanggaran ditingkat rendah sebagai alternatif dari dakwaan diperkenalkan dalam skala yang sangat kecil dan berdiri sendiri, tanpa latar belakang hukum.Di inggris dan Wales, contohnya selama ini, sidang ini digunakan sebagai percobaan dalam konteks peradilan kriminal, dengan beberapa rintisan dengan pelaku remaja (Dignandan Mars, 2001). Sangatlah mengejutkan, sebagaimana Morris (1999) telah menunjukkan sidang permusyawarahan  tersebut dilandasi dengan proses pembuatan keputusan , daripada persidangan. Jadi disamping dukungan finansial dan lainnya dari ForumPeradilan Pemuda prospek pengembangannya sangat kecil, dengan ketidak hadiran kerangka kerja dalam struktur pembuatan  keputusan. Sidang permusyawarahan kelompok keluarga telah mengamankan pijakan dalam lingkup kesejahteraan anak, dimana banyak keputusan kunci diambil dalam forum non-yuridiksional, dan telah menguntungkan dari dukungan institusional yang lebih kuat dari departemen-departemen pelayanan sosial (Dignan dan Marsh, 2001). Memang Challiner et al (2000), mencatat bahwa sekitar setengah dari semua ini mempunyai beberapa pengalaman dari sidang.
            Pengecualian lain yang menarik pada kecenderungan umum bagi sidang kelompok keluarga diluar Selandia baru dibatasi pada inisiasi berskala kecil tanpa landasan hukum, berkaitan dengan Irlandia Utara, dimana meskipun secara kontitusional bagian dari Inggris Raya, memiliki sistem hukum yang terpisah. Pengenalan bentuk ini pada Irlandia Utara membawa pengalaman Selandia Baru, sebagai bagian dari perubahan sistem peradilan remaja. Seperti yang Bottoms (2003 : 106) tunjukkan ada pararelisme antara 2 yuridiksi mengenail konteks dimana pengadopsian terjadi. Untuk Irlandia Utara, seperti Selandia Baru, juga memiliki kelompok minoritas yang makin terasingkan dari Sistem Peradilan Kriminal. Disini juga, perubahan peradilan pemilihan dipandang oleh pembuat kebijakan sebagai cara untuk menguatkan legitimasi sistem peradillan remaja dengan menunjukkan kesadaran lebih terhadap perbedaan sikap budaya terhadap Institusi Peradilan Kriminal.
            Di irlandia utara, perubahan-perubahan telah muncul dari ulasan resmi mengenai sistem peradilan kriminal yang dilakukan dalam kaitannya dengan “Proses Perdamaian” yang dikirim oleh Perjanjian Jumat Agung pada tahun 1998 (Criminal Justice Review Commision, 2000), yang mencoba mendirikan sistem yang dapat diterima oleh Komunitas Masyarakat Agama/Politik utama (Republikan/Katholik, dan Persatuan/Protestan di Irlandia Utara). Proposal itu diterima oleh Pemerintah Inggris (Northern Ireland Office, 2001) dan digabungkan kedalam Hukum Peradilan 2002 (Irlandia Utara).
            Kelengkapan yang paling penting dalam konteks saat ini (dipertimbangkan oleh Komisi Ulasan Peradilan Kriminal, sebagai tahap awal dalam program reformasi radikal tapi progresif)  terdiri dari pasca-dakwaan, dan proses pertemuan menurut perintah pengadilan. Berlaku untuk semua pelaku remaja yang mengaku salah, atau terdakwa dalam pengadilan remaja, kecuali untuk mereka yang dituduh melanggar yang dapat diujidalam dakwaannya, atau dakwaan teroris.Meski berhak juga untuk rujukan pada sistem pemusyawarahan remaja, dengan pengecualian tindakan pembunuhan (bagian 59 justice (Northern Ireland) Act 2002).Fitur kunci ini adalah bahwa tak seorangpun (Anak, Orangtua, atau korban) bisa dipaksakan untuk ambil bagian didalamnya (tidak seperti Ekuivalen Inggris, sistem perintah rujukan).Fitur kunci kedua adalah koordinator harus dipekerjakan sebagai pelayan masyarakat dalam departemen pemerintah yang mengatur polisi ataupun perwakilan masyarakat berperan sebagai koodinator.
            Beralih sekarang pada model sidang permusyawarahan yang dipimpin oleh polisi, kita telah mencatat bahwa pada asalnya, ditujukan sebagai inisiasi dalam skala kecil di Wagga-wagga di New South Wales. Meski inisiasi ini tidak dilanjutkan, pendekatan yang hampir serupa dibentuk basis Reintegrative Shaming Experiments (RISE) di Canberra (daerah ibukota Australia), yang belakangan digunakan dalam skala kecil, pada 2 juridiksi lain : Tamania dan Northern Territory (Daly, 2001: 64). Keduanya belakangan menjadi satu-satunya skema yang dipimpin polisi Australia. Ironisnya, model pemusyawarahan dipimpin polisi telah berkembang jauh lebih sukses diluar Australia, sebagian dari amerika serikat, Kanada dan yang paling terkenal, inggris dan wales. Disini, pendekatan sidang bernaskah diadopsi pada mulanya oleh polisi Thames Valley pada tahun 1998 sebagai alternatif untuk peringatan polisi gaya lama, daripada sebagai alternatif untuk pendakwaan seperti kasus model sidang permusyawarahan kelompok keluarga dari Selandia Baru atau memang inisiasi RISE Australia (baca Pollard, 2000; Young, 2001). Pendekatan itu sekarang digunakan dalam 3 konteks yang berbeda “ketika memberikan peringatan pemulihan” (dimana dihadiri oleh pelaku, dan biasanya orangtua mereka), dalam sidang perbaikan (dimana korban dan mungkin pendukung mereka hadir); dalam “pemusyawarahan masyarakat” (dimana dihadiri oleh anggota dari masyarakat yang lebih luas).
            Mengikuti pemilihan Ketenaga Kerjaan Pemerintah pada tahun 1997 pendekatan Thames Valley menarik perhatian dari Sekretaris Negara, Jack Straw yang telah mempengaruhi perkembangan teguran dan peringatan-peringatan terakhir gaya baru (lihat diatas). Perbahan yang paling penting, untuk tujuan-tujuan saat ini, mengambil bentuk dari panduan yang lebih baru dan detail yang dikeluarkan pada April 2000 ( Home Office , 2000c; baca juga Bottoms dan Dignan, 2004:157). Tujuan panduan yang direvisi tersebut adalah secara tegas mendorong perluasan penggunaan prinsip-prinsip dasar dan praktek keadilan restoratif untuk memberikan teguran dan peringatan terakhir dengan kekuatan penuh; mengambil langsung pendekatan Thames Valley.Sejak itu, Youth Justice Board (Forum Peradilan Remaja) membuat pelatihan bagi petugas-petugas polisi, pekerja YOT, dan yang lainnya untuk memfasilitasi peringatan-peringatan dan pemusyawarahan-pemusyawarahan perbaikan.Panduan lebih lanjut dikeluarkan pada November 2002, dengan versi asli yang lebih diperkuat lagi, walaupun mengadung pemberian semangat untuk mengadopsipendekatan pemulihan “untuk membuat peringatan terakhir lebih efektif dan penuh arti“. (Home Office/Youth Justice Board, 2002:6). Masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa efek dari panduan yang telah direvisi mungkin bisa, karena masih terbuka pada paksaan, untuk mengantarkan teguran dan peringatan terakhir.Tapi bisa juga tanpa diragukan lagi bahwa pendekatan pemusyawarahan yang dipimpin oleh polisi telah mendapatkan pembenaran resmi.

Panel-panel Penduduk dan Forum-forum Perbaikan Masyarakat.

Garis besar : Asal dan Tujuan
Panel-panel penduduk dan forum-forum masyarakat mempunyai sejarah yang melawan gerakan keadilan restoratif dan semua contoh kontemporer dari perkawinan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar keadilan restoratif. Badan yang serupa dengan beragam nama telah diperkenalka diberbagai bagian di Amerika Serikat dari dulu, sejauh awal 1920-an sebagai usaha menstimulasi keterlibatan masyarakat dalam pemberian sanksi pada pelaku remaja yang didakwa atas pelanggaran-pelanggaran ringan (Bazemore dan Umbreit, 2001; Schiff, 2003:322). Variatif Lain yang dikenal beroperasi lebih kepada konteks yang berbeda, adalah Sistem Temu Wicara yang berorientasi pada kesejahteraan anak di Scotlandia yang mana panel-panel orang-orang yang berasal dari komunitas lokal untuk memutuskan bagaimana menangani anak-anak yang melanggar hukum, dan mereka yang membutuhkan perawatan dan perlindungan, sebagai alternatif bentuk hukum dari pembuatan keputusan.
            Dalam Konteks keadilan restoratif, salah satu dari adaptasi pendekatan yang paling awal dan terkenal adalah Forum Perbaikan Masyarakat Vermont  ( baca Dooley, 1995, 1996; Korp dan Walter, 2001), meski ada kemiripan nama yang lain di San Jose, California (Forum Pertanggung Jawaban Lingkungan), Chicago, Illinoise (Panel-panel Masyarakat) dan Denver Colorado (Forum Pertanggung Jawaban Masyarakat). Memang forum-forum perbaikan merupakan jenis kedua yang paling banyak dari sepertiga dari total (Schiff dan Bazemore, 2002:182). Dalam hal asal usul Filosofis dan intelektualitas mereka, perintis-perintis tersebut ambil bagian dalam dalil peradaban, dengan penekanannya pada perbaikan sebagai respon yang lebih membangun terhadap pelanggaran remaja, dan juga pada elemen pemberian wewenang pada masyarakat, dalam dalil kemasyarakatan. Akan tetapi, disamping etos perbaikan, forum-forum perbaikan Vermont menempatkan prioritas yang lebih rendah pada nilai keikut-sertaan korban dibandingkan dengan hampir sebagian besar pendekatan-pendekatan peradilan, perbaikan, dan paling tidak dulu, kurang berusaha untuk melibatkan para korban dalam prosesnya. Sama halnya dengan keikut-sertaan para pelaku dalam proses pembuatan keputusan, tampaknya lebih terbatas dibadingkan denagn proses-proses peradilan pemulihan lain. Meski mereka diharapkan untuk hadir dan membicarakan soal pelanggaran dan konsekuensinya, Bazemore dan Ombreit (2001) menunjuk bahwa forum itu sendiri secara tipikal membawa program-program dari sanksi-sanksi perbaikan, kadang secara pribadi, yang kemudian diberikan kepada pelaku untuk konsultasi, sebagai lawan dari melibatkan pelaku secara langsung dalam menentukan tanggapan. Dalam hal ini, proses tersebut mengandung keikut-sertaan dan pemberian kuasa yang sangat kurang dibanding baik itu mediasi ataupun sidang kemusyawarahan, dan lebih mengarah pada sanksi-sanksi pemulihan seperti yang dikeluarkan oleh Pengadilan, terkecuali pada kenyataan bahwa letaknya pengadilan menentukan sanksi yang diberikan.
            Agak dekat dari rumah, sebuah model panel penduduk yang sedikit berbeda telah dikembangkan sebagai bagian dari program perubahan besar Peradilan Remaja Pemerintah Inggris, yang juga dipengaruhi oleh pengamat-pengamat Peradilan Pemulihan. Mengikuti pengenalan tim pelaku remaja, perintah-perintah perbaikan, dan meningkatnya dukungan untuk konsultasi korban, dan keterlibatan proses-proses keadilan restoratif lainnya, pemerintah telah mendirikan sebuah forum pembuat keputusan yang baru untuk menentukan bagaimana kategori-kategori tertentu dari pelaku remaja harus dihadapi diikuti dengan dakwaan. Di bawah Hukum Peradilan Remaja dan Bukti Kriminalitas 1999, sebuah Pembuat Dakwaan semi-mandatoris yang baru diperkenalkan pada pelaku remaja (yang didakwa untuk pertama kalinya) yang mengaku bersalah. Para pelaku tersebut disebut sebagai “Panel Pelaku Remaja” yang terdiri dari 2 anggota dari masyarakat yang diambil dari daftar yang disetujui, dan seorang anggota dari tim lokal Pelaku Remaja (baca diatas). Peran panelis adalah untuk menyediakan forum informal diantara pelaku remaja, keluarga, anggota panelis, dan jika dimungkinkan, korban, untuk bisa membahas pelanggaran dan dampaknya, dan untuk mencapai kesepakatan putusan dalam bentuk sebuah “kontrak“.
            Dalam hal tujuan-tujuannya, panelis ini diharapkan dipandu tugas-tugasnya oleh 3 prinsip-prinsip dasar yang dirasa oleh Home Office (1997:31-2) untuk mendasari konsep dari keadilan restoratif: “pertanggungjawaban”, “perbaikan”, dan “penyatuan”. Dibandingkan dengan forum-forum perbaikan Vermont, dokumen-dokumen kebijakan menuju munculnya pada perintah perujukan untuk menempatkan penekanan lebih-paling tidak secara prinsipil pada nilai-nilai dan pentingnya keikut-sertaan korban, yang telah dinyatakan dalam hukum 1999. Dan untuk putusan yang diinginkan, harus terdiri dari campuran putusan perbaikan-termasuk finansial atau bentuk lain dari perbaikan untuk keuntungan korban dan pelaku, mediasi atau perbaikan masyarakat- dan juga “rehabilitatif” atau putusan “pencegahan”, yang dirancang untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut. Pertentangan ini dijelaskan dalam konteks kebijakan tertentu dimana semua perintis keadilan restoratif inggris telah digambarkan, dengan memprioritaskan tujuan untuk mencegah pelanggaran remaja diatas segalanya. Akibatnya, tujuan keadilan restoratif yang lain termasuk yang ditujukan untuk menguntungkan korban hanya dapat dicapai pada titik dimana mereka merasa cocok dengan tujuan prinsipil yang baru diperkenalkan dari sistem peradilan remaja. Ketegangan antara rangkaian obyektif potensial yang bertentangan menempatkan Inggris dan Wales terpisah dari hampir juridiksi lain yang telah melihat untuk memperkenalkan tahapan-tahapan keadilan restoratif dan cenderung membatasi potensi-potensinya secara signifikan, terutama dari sudut pandang korban.

Fitur Operasional
Forum-forum perbaikan Vermont mencakup untuk dewasa dan remaja, tidak seperti panel-panel Pelaku Remaja Inggris, seperti yang telah kita cermati, hanya terbatas pada pelaku remaja (umur 10-17). Kedua proses dipacu oleh sebuah rujukan dari pengadilan mengikuti dakwaan, dan pada dampaknya, mewakili fungsi penghukuman normal pada sebuah persidangan buatan, meski secara teknis hukuman yang dikeluarkan oleh pengadilan (di Vermont) sebuah perintah percobaan, dan di inggris, sebuah perintah rujukan. Meski demikian, kehadiran dalam forum relevan atau panel adalah sebuah persyaratan untuk kedua hukuman tersebut. Di Vermont, lamanya periode operasional dimana pertemuan terjadi, dan tugas-tugas perbaikan harus dilakukan adalah 90 hari, yang mana merupakan masa percobaan yang normal. Di Inggris, perintah rujukan lebih fliksibel karena lamanya perintah dijelaskan oleh pengadilan pada saat pemberian rujukan, dan bisa berkisar antara 3 sampai 12 bulan, tergantung kadar keseriusan pelanggaran. Perbedaan lain antara mereka berkaitan dengan tingkat kesalahan berdasarkan hukum. Di Vermont, berasal dari fakta bahwa hanya pengadilan yang mempunyai wewenang secara formal untuk meminta pembayaran dari kompensasi, atau pembuatan ketentuan pemberian ganti rugi. Bagaimanapun juga, kedua juridiksi dari forumbertanggung jawab untuk memonitor pemenuhan terhadap perjanjian, yang dilakukan dengan ulasan pertemuan dan pelaku bertanggungjawab untuk dikembalikan ke pengadilan, jika tidak mampu memenuhi perjanjian tersebut.

Konteks Penerapan
Perbedaan utama adalah konteks penerapan antara 2 serangkaian dari proses tersebut terletak pimpinan agen yang memikul tanggung jawab utama untuk mengatur proses tersebut. Pada Vermont, tanggung jawab ini terletak pada pelayan masa percobaan yang pegawainya dipekerjakan oleh Departemen Pelayanan Sosial dan Rehabilitasi, dimana di inggris tanggung jawab untuk perekrutan, pendidikan dan koordinasi kerja panel-panel para pelaku remaja terletak pada multi-agen dari tim-tim Pelaku Remaja. Meskipun perintah rujukan tampaknya mempunyai etos keadilan restoratif yang kuat, dalam beberapa penghormatan kedua rangkaian perintis tersebut seperti yang kita lihat dipaksakan pada batas wajar oleh konteks penerapan dimana mereka beroperasi.

Lingkaran Penyembuhan dan Penghukuman
Garis besar : asal usul dan tujuan-tujuan
Akhirnya demi kebaikan dari kelengkapan, penyebutan singkat juga harus dibuat dari jenis ke 5 pendekatan keadilan restoratif yang dikenal sebagai siklus penyembuhan dan penghukuman.Berikut adalah 2 dari perwakilan-perwakilan yang lebih dikenal dari berbagai perintis yang terutama dikaitkan dengan penduduk Kanada (Assembly Of Manitoba Chiefs, 1989, Roberts dan Roach, 2003: 240). Secara Filisofis, perintis-perintis ini mempunyai banyak persamaan dengan beberapa aspek dari kemasyarakatan versi Christie (baca atas), meski etos “anti-statist”nya banyak kekurangan bukti mengenai siklus penghukuman, yang menempatkan diri dalam konteks dari pengadilan kriminal reguler, dan dengan demikian bersandar pada pertimbangan hukum. Apapun bentuk yang mereka pakai, sebagian bentuk dari inisiasi keadilan restoratif berlandaskan lingkaran mengkombinasikan dimensi logis dan spiritual yang beroperasi baik pada tingkat individu maupun lingkungan. Untuk individual, tujuan utama di ekspresikan kedalam istilah “penyembuhan” pihak yang terpengaruh, sedangkan tujuan lingkungan diekspresikan dalam istilah penyeruan dan penguatan nilai-nilai masyarakat sebagai sebuah maksud menyatukan- mereka yang telah dilanggar- kembali kepada kelompok dimana mereka seharusnya berada..Perihal ini dipandang sebagai mekanisme untuk pembangunan masyarakat, dan pemberian wewenang pada masyarakat, dimana kedua tujuan tersebut sangatlah berkaitan erat dengan tulisan Christie.

Fitur Operasional
Secara prosedurial, inisiasi keadilan restoratif yang berdasarkan lingkaran terbagi dari beberapa aspek dari pendekatan pemusyawarahan keluarga, tapi lebih secara langsung pada proses-proses ritual tradisional, termasuk penggunaan “benda yang berbicara” secara simbolis seperti sebuah bulu elang, yang dioper pada semua orang dalam lingkaran, memberikan hak berbicara untuk semua orang secara bergiliran. Hal ini cenderung mengandung faham yang lebih luas mengenai partisipasi komunitas daripada pemusyawarahan kelompok keluarga (La Prairie, 1995), termasuk adanya pemimpin komunitas, kelompok-kelompok keturunan, dan mereka-mereka yang mengkin berbagi tangggung jawab sosial yang lain dengan pelaku. Banyak akun-akun yang menekan keaneka ragaman dan intesitas dari proses yang dapat melibatkan serangkaian tindakan terpisah yang berhubungan (baca, sbg contoh, Bazemore dan Umbreit, 2001; Schiff, 2003:322), termasuk diantaranya :
  1. Sebuah lingkaran orang yang dikumpulkan untuk mempertimbangkan sebuah permintaan pelaku untuk menyerukan proses lingkaran.
  2. sebuah lingkaran penyembuhan untuk korban;
  3. sebuah lingkaran untuk pelaku;
  4. sebuah lingkaran penghukuman untuk merumuskan persetujuan atas apa yang telah terjadi, untuk mengidentifikasi kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran, dan untuk menentukan rencana penghukuman yang sesuai;
  5. satu lingkaran atau lebih tindak lanjut untuk memonitor persetujuan dan dukungan pemenuhan janji pelaku.


Konteks penerapan
Inisiasi keadilan restoratif berlandaskan lingkaran adalah sangat tidak biasa, karena pada umumnya tetap dibatasi pada komunitas-komunitas kaum Aborigin di Amerika Utara, tidak seperti inisiasi keadilan restoratif lain yang telah banyak diadopsi secara luas. Perbedaan penerapan yang utama antara 2 serangkaian proses adalah lingkaran penyembuhan cenderung beroperasi diluar sistemperadilan kriminal, sedangkan lingkaran penghukuman bekerja didalam konteks pengadilan kriminal,yang kadang bisa dilakukan di dalam ruang sidang, dan juga melibatkan hakim (Stuart, 1996). Meski peran hakim disini tidak pasti dan bervariatif dalam proses menyatakan hukuman, hakim tersebut mempunyai wewenang untuk mengumumkan hukuman sebenarnya, dalam dampaknya, bertahan, paling tidak, sampai ada kuasa hak pembatalan yang  formal (illes, 2001: 175).
Sebagian dikarenakan  oleh waktu dan biaya yang diperlukan, penghukuman dalam lingkaran digunakan terutama pada pelanggaran yang lebih serius, baik untuk pelaku dewasa maupun remaja, meski dpt digunakan juga untuk pertengkaran komunitas, kasus perlindungan anak, dan kasus disiplioner di sekolah-sekolah (Schiff, 2003: 322)

Kesimpulan
_____________________________________________________________________
Pada bagian ini kita telah menguji akar intelektual dan filosofis yang telah membantu menyuburkan gerakan keadilan restoratif, dan telah mengidentifikasikan proses perkembangan dan praktek-praktek dengan apa yang dihubungkan erat dengannya. Meski beberapa kemiripan telah diidentifikasikan, kesan melimpahan adalah satu keanekaragaman.Dua fitur yang di bagikan pada kelima pendekatan berhubungan dengan tujuan membenahi kerusakan yang disebabkan oleh sebuah pelanggaran dan sebuah fokus pada pertanggung jawaban personal dari pelaku terhadap mereka yang telah disakiti dengan pelanggaran tersebut (baca pembukaan).Praktek-praktek tersebut adalah pemikiran umum dari ‘yang paling dapat memulihkan’ (mediasi, pemusyawarahan,dan rintisan belandaskan lingkaran) juga berbagi sebuah komitmen terhadap sebuah proses pembuatan keputusan yang informal,terhitung dan bukan paksaan, meski bukan dari intervensi forum perbaikan, atau sebagian besar perbaikan yang berdasar pada pengadilan. Diluar itu, bagaimanapun juga, pendekatan-pendekatan tersebut terhitung bervariasi, dengan mengingat setiap dimensi utama yang telah kita pertimbangkan : pondasi teoritis, praktek operasional, dan konteks penerapan termasuk hubungannya dengan sistem peradilan kriminal formal. Terlebih lagi, hal tersebut juga beraneka ragam, dengan pertimbangan  pada arti bagi para korban, dan peran (jika ada) yang dirumuskan didalam proses pembuatan keputusan. Untuk alasan-alasan yang jelas, akan sangat penting untuk mengingat keaneka ragaman perbedaan tersebut, ketika mengevaluasikan pendekatan-pendekatan keadilan restoratif dari susdut pandang korban, yang merupakan materi pada bagian berikutnya

Tidak ada komentar: