Pengikut

Mengenai Saya

Foto saya
Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia
Lahir di Kota Purbalingga, 29 Januari 1979, mendapat gelar Sarjana Hukum tahun 2006 di Universitas Jenderal Soedirman, dan dilanjutkan Pada Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Unsoed Tahun 2010. Motto : Menjadikan ilmu yang bermanfaat bagi sesama...

Minggu, 29 Maret 2009

PEMILIHAN PRESIDEN SECARA LANGSUNG

Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Salah satu wujud dari kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pasal 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.

Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan perlu dibentuk suatu Undang-undang tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang sesuai dengan perkembangan demokrasi dan dinamika masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu perlu dilakukan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Undang-Undang ini mengatur mekanisme pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden untuk menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika dan moral, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik. Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam Undang-Undang ini diatur beberapa substansi penting yang signifikan antara lain mengenai persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden wajib memiliki visi, misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan selama 5 (lima) tahun ke depan. Dalam konteks penyelenggarakan sistem pemerintahan Presidensiil, menteri yang akan dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden harus mengundurkan diri pada saat didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum. Selain para Menteri, Undang-Undang ini juga mewajibkan kepada Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, Panglima Tentara Nasioanal Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pimpinan Komisi Pembrantasan Korupsi harus mengundurkan diri apabila dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Pengunduran diri para pejabat negara tersebut dimaksudkan untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik ketatanegaraan. Untuk menjaga etika penyelenggaraan pemerintahan, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota perlu meminta izin kepada Presiden pada saat dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden.

Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia terpilih adalah pemimpin bangsa, bukan hanya pemimpin golongan atau kelompok tertentu saja, untuk itu, dalam rangka membangun etika pemerintahan terdapat semangat bahwa Presiden atau Wakil Presiden terpilih tidak merangkap jabatan sebagai Pimpinan Partai Politik yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing Partai politik.

Lembaga Kepresidenan

Hasil perubahan UUD 1945 yang berkaitan langsung dengan kekuasaan presiden dan wakil presiden, adalah pembatasan kekuasaan Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7 (lama), yang berbunyi “ Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”. Penegasan didalam Pasal 7 dipandang terlalu fleksibel untuk ditafsirkan. Bahkan Soeharto pernah mengatakan, tentang beberapa kali seseorang dapat menjabat Presiden sangatlah bergantung pada MPR.

Jadi tidak perlu dibatasi, asal masih dipilih oleh MPR, ia dapat terus menjabat Presiden dan / atau Wakil Presiden. Dan Soeharto lah yang telah menikmati kebebasan jabatan itu karena ia sendiri yang membuat tafsir atas UUD, MPR tinggal mengamininya”. Kemudian, Pasal 7 diubah, yang bunyinya menjadi : “ Presiden dan Wakil Presiden memegang Jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Perubahan pasal ini dipandang sebagai langkah yang tepat untuk mengakhiri perdebatan tentang periodisasi jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

Aspek perimbangan kekuasaan hubungan antara Presiden dan DPR, Presiden dan Mahkamah Agung tampak dalam perubahan Pasal 13 dan 14. Perubahan terhadap pasal-pasal ini dapat dikatakan sebagai pengurangan atas kekuasaan Presiden yang selama ini dipandang sebagai hak prerogratif. Perubahan Pasal 13 berbunyi sebagai berikut :

(1) . Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

(2). Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Adanya pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat pada ayat (1), ini penting dalam rangka menjaga obyektifitas terhadap kemampuan dan kecakapan seseorang pada jabatan tersebut. Karena ia akan menjadi duta dari seluruh rakyat Indonesia di negara lain dimana ia ditempatkan pada khususnya dan di mata Internasional pada umumnya. Adanya pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Pada ayat (2), dipandang sangat tepat karena hal ini penting bagi akurasi informasi untuk kepentingan hubungan baik antara kedua negara dan bangsa.

Perubahan Pasal 14 berbunyi sebagai berikut :

(1). Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

(2). Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Alasan perlunya Presiden memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam pemberian grasi dan rehabilitasi adalah pertama, grasi dan rehabilitasi itu adalah proses yustisial dan biasanya diberikan kepada orang yang sudah mengalami proses, sedang amnesti dan abolisi ini lebih bersifat proses politik. Kedua, grasi dan rehabilitasi itu lebih banyak bersifat perorangan, sedangkan amnesti dan abolisi biasanya bersifat massal. Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai hal itu karena grasi menyangkut putusan hakim sedangkan rehabilitasi tidak selalu terkait dengan putusan hakim.

Perubahan Pasal 15 berbunyi sebagai berikut : “ Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan Undang-Undang”. Perubahan pasal ini berdasarkan perimbangan agar Presiden dalam memberikan berbagai tanda kehormatan kepada siapapun (baik warga negara, orang asing, badan atau lembaga) didasarkan pada Undang-Undang yang merupakan hasil pembahasan DPR bersama Pemerintah sehingga berdasarkan pertimbangan yang lebih obyektif.

Perubahan lain terjadi pada mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6, yang sebelumnya “ Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak”, berubah menjadi “ Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”, (Pasal 6 A ayat(1) ). Ayat (3) menyatakan “ Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya duapuluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden”.

Pasal 6A ayat (4) tentang putaran ke dua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden apabila diputaran pertama tidak ada kandidat yang terpilih, maka dikembalikan ke rakyat untuk dipilh secara langsung. Rumusannya berbunyi: “ Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperolah suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden”.

Pasal 6A ayat (4) ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung pada putaran kedua (second round). Ketentuan ini merupakan jalan keluar (scape clousul) yang hanya dijalankan jika dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tidak ditemui persyaratan perolehan suara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6A ayat (3).

Adanya perubahan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat diharapkan rakyat dapat berpartisipasi secara lengsung menentukan pilihannya sehingga tidak mengulang kekecewaan yang pernah terjadi pada pemilu 1999. Presiden dan Wakil Presiden akan memiliki otoritas dan legitimasi yang sangat kuat karena akan dipilih langsung oleh rakyat.

Perubahan UUD 1945 mengenai alasan pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam massa jabatannya diatur dalam Pasal 7A, rumusannya berbunyi sebagai berikut :” Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam massa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti memenuhi syarat sebagai Presiden dan /Wakil Presiden”.

Adapun prosedur pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dalam massa jabatannya, diatur dalam Pasal 7B, yang rumusannya berbunyi sebagai berikut : “ Usul pemberhentian Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan /atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/ atau pendapat bahwa Presiden dan / atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan /atau Wakil Presiden.

Kajian Pasal 2 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden ditinjau secara Organisasi.

a. Skema kajian Organisasi

Organisasi: Kerjasama untuk mencapai tujuan: Lahir Organisasi yang terorganisir dan Organisasi yang tidak terorganisir.

b. Analisis Pasal 2 Undang-Undang Pemilihan Presiden

Pasal 2 UU No. 42 Tahun 2008, berbunyi sebagai berikut : Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, rahasia, jujur dan adil.

Ketentuan Pasal 2 UU No. 42 Tahun 2008, merupakan pelaksanaan dari Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Kelemahan Pemilihan Presiden secara langsung ditinjau secara organisasi adalah sebagai berikut :

1. Sistem pemilihan Presiden langsung hanya akan mempersentasikan suara dari pulau jawa.

Tidak dapat dipungkiri adanya kenyataan bahwa suara pemilih terbesar ada dipulau jawa, yang sebagian besar tentunya dihuni oleh suku bangsa jawa. Walaupun belum ada pembuktian konkrit untuk dugaan ini, logika yang mendasarinya cukup bisa diterima. Dengan begitu bisa diterima pula asumsi bahwa peluang kandidat yang berasal dari jawa untuk memenangkan pemilihan akan lebih besar dibandingkan kandidat dari suku bangsa diluar suku bangsa jawa, dan tentunya ini akan menimbulkan dampak turunan terhadap semakin mencuatnya sentimen anti jawa dari suku –suku bangsa lainya yang terutama ada diluar jawa.

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, dibeberapa negara seperti Nigeria dan Kenya yang juga menghadapi persoalan pluralitas kemasyarakatan yang komplek, disusun suatu sistem pemilu yang mewajibkan sepasang kandidat untuk memperoleh dukungan lintas kelompok yang luas (crossection). Kandidat Presiden tidak hanya harus memenangkan masyoritas plural dari suara yang ada, akan tetapi secara geografis juga harus memperoleh jumlah tertentu dari suara disejumlah provinsi. Persyaratan distribusi perolehan suara secara geografis ini sekaligus menuntut para kandidat Presiden untuk melalakukan kampanye lintas regional dari daerah asal mereka sendiri atau bahkan lintas etnis. Dari praktek-praktek tersebut diharapkan timbulnya legitimasi yang lebih menyeluruh bagi setiap pemenang pemilihan Presiden.

2. Sistem ini akan mengurangi fungsi dan peran MPR secara signifikan

Dalam sebuah sistem pemerintahan Presidensil yang menganut sistem perwakilan bikameral , fungsi MPR memang tidak akan sama lagi dengan yang ada dalam konstitusi. MPR yang terdiri dari dua kamar DPR dan DPD akan lebih terkonsentrasi pada fungsi legislasi dan fungsi kontrol, yang sebenarnya bila dilihat dari ruang lingkup dan jangkauan dari wewenangnya ( scope and domain outhority ) lebih baik dan lebih signifikan dalam proses penyelenggaraan negara dan pemerintahan sehari-hari. Mengenai tidak adanya lagi legitimasi MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Mekanisme impachment akan lebih nyata dan lebih konsisten dengan sistem Presidensial, dibandingkan dengan mekanisme pertanggungjawaban Presiden yang lebih bersifat abstrak dan kenyataannya hanya berupa laporan (report) akhir tahun massa jabatan semata. Sehingga tidaklah tepat kiranya bila dikatakan bahwa sistem pemilihan Presiden langsung otomatis akan meminggirkan peran dan kedudukan MPR dalam berhadapan dengan Presiden.

3. Sistem ini akan memperlemah kedudukan DPR

Meningkatnya legitimasi Presiden tidak berakibat langsung bagi melemahnya kedudukan DPR. Legitimasi Presiden yang kuat memang merupakan satu hal yang menjadi tujuan pokok dari sistem presidensial. Namun bukan berarti DPR dan tentunya juga DPD dalam sebuah sistem perwakilan bikameral akan tetap bisa berperan dalam memberi arah dan mengawasi kinerja Presiden, melalui wewenang-wewenang yang secara konstitusional dimilikinya. Perubahan yang justru akan ditimbulkan adalah terciptanya kondisi yang lebih baik bagi pelaksanaan mekanisme checks and balances, dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan, karena DPR dan DPD semakin tidak diberi peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan yang ada padanya.

4. Sistem Pemilihan ini akan mengurangi atau membatasi kemungkinan dibentuknya suatu pemerintahan koalisi.

Secara teoritis sistem pemerintahan Presidensial tidak mengenal pemerintahan koalisi. Hanya sistem parlementer dan sistem semi parlementer yang membuka peluang bagi model pemerintahan tersebut. Pada dasarnya alternatif pemerintahan koalisi merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan persoalan kebuntuan proses politik yang terjadi di parlemen sebagai akibat dari tidak adanya partai pemenang mayoritas dalam pemilihan anggota parlemen, sehingga dua atau lebih partai politik terpaksa bergabung (Coalition). Untuk membentuk kabinet yang akan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Alternatif lainnya adalah pemerintahan minoritas yang merupakan suatu cara lain untuk memecah kemandegan politik atas sebab yang sama. Perbedaannya adalah pemerintahan minoritas hanya diisi oleh orang-orang berasal dari satu partai politik saja, yang pada umumnya adalah peraih suara terbanyak diantara partai-partai politik peraih suara lainanya.

Munculnya fenomena dalam pemerintahan Abdurrahman Wahid yang diisi oleh orang-orang yang memiliki latar belakang partai politik yang berbeda-beda, sehingga seolah-olah merupakan kabinet koalisi, tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa wewenang untuk menentukan seseorang diangkat dan diberhentikan sebagai menteri hanya dimiliki oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Hal itu terpangkat dengan jelas pada saat terjadinya pemberhentian dan pengangkatan beberapa menteri di massa awal pemerintahan Gus Dur. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa tidak akan pernah terjadi suatu pemerintahan koalisi bila konstitusi RI tetap menganut sistem presidensial, meskipun sistem pemilihan presiden tetap dilakukan di MPR. Fenomena pada kabinet pelangi” Gus Dur mungkin bisa terulang di masa depan, namun kenyataan dalam hal itu hanyalah wujud dari strategi dan kebijakan politik presiden tidak dapat dipungkiri.

5. Sistem pemilihan ini akan memakan biaya besar

Sistem pemilihan presiden langsung yang ideal memang akan mengeluarkan biaya yang relatif lebih besar dibandingan dengan pemilihan presiden tidak langsung. Hal itu dikarenakan dalam pemilihan presiden langsung yang ideal, waktu pelaksanaan pemilu presiden berbeda dengan waktu pelaksanaan pemilu anggota legislatif. Dasar pemikirannya adalah untuk meminimalisasi terjadinya coattail effect. Namun, dengan keterbatasan dana yang dimiliki negara saat ini, kiranya waktu pemilihan presiden dan waktu pemilihan anggota legislatif untuk sementara dapat dilakukan secara bersamaan. Sehingga penambahan biaya yang harus dikeluarkan dapat ditekan seminimal mungkin. Selain itu, kondisi pendanaan yang terbatas ini juga harus menjadi bahan pertimbangan pokok untuk menciptakan sistem pemilu yang lebih sederhana hanya satu putaran, namun menghasilkan tingkat legitimasi yang memadai bagi kandidat yang memenangkan pemilihan.

Kajian Pasal 5 (p) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres ditinjau dari Stratifikasi

a. Skema kajian Stratifikasi

Berhubungan dengan harta kekayaan / sosial ekonomi : uang, benda bernilai ekonomi, tanah, kekuasaan, IPTEK, Kesolehan dalam agama, keturunan keluarga, terhormat dan sebagainya.

b. Analisis Pasal 5(p) UU No. 42 tentang Pilpres.

Pasal 5(p) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres berbunyi : Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Madrasah Aliyah Kejuruan ( MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

Kontroversi syarat menjadi calon presiden dan wakil presiden berpendidikan paling rendah setingkat SMA atau yang sederajat. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 (p) UU Pilpres, adalah adanya keinginan berbagai pihak agar persyaratan calon presiden dan wakil presiden ditingkatkan pendidikannya dari SMA atau yang sederajat menjadi Lulusan S1 ( Sarjana).

Keinginan tersebut meniadakan roh aturan-aturan pokok konstitusi, setiap ayat yang bertentangan dengan semangat konstitusi sesungguhnya merupakan pelanggaran. Syarat lulus S1 bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi : Calon Presiden dan Wakil Presiden harus WNI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rokhani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.

Adalah setengah benar premis lulusan sarjana berwawasan luas dan memliliki kemampuan analisis. Itulah wawasan dan kemampuan yang bermanfaat untuk mengambil keputusan yang tepat. Yang jelas pendidikan bukan variabel mutlak. Masih ada variabel lain yang diperlukan untuk menjadi pemimpin yang mumpuni seperti kejujuran, integritas serta keberanian mengambil keputusan. Semua kualitas itu kiranya tidak didapatkan dari pendidikan formal yang kian kapitalistik dan pragmatis.

Kualitas kepribadian itu justru lebih dominan dibentuk dilingkungan mulai dari keluarga hingga sosialisasi dalam masyarakat. Belajar hidup bermasyarakat itulah universal kehidupan rakyat tidak mungkin jabatan yang harus mempunyai pendidikan seperti jadi Jaksa Agung, Hakim, dan Polisi. Untuk mengisi jabatan itu tidak menggeluti bidang hukum adalah kebodohan bila tidak mengharuskan kapasitas dan kompetensi seorang sarjana hukum. Karena jabatan itu harus mempunyai keahlian dalam bidang hukum bila tidak maka akan terjadi kerusakan hukum atau kekacauan hukum. Dengan demikian, inilah jabatan yang tidak mencerminkan demokrasi secara luas.

Syarat sarjana untuk seorang calon presiden adalah tuntuntan yang mengada-ada. Presiden adalah jabatan yang membutuhkan bobot kepemimpinan lebih dominan dari pada keahlian. Karena itu, ini adalah jabatan yang bisa diisi oleh mereka yang memiliki kapabilitas dan kapasitas serta kecakapan memimpin. Jelas ini bukan jabatan spesialis, tapi generalis.

Karena itu, kembalikan saja pada perintah dan semangat konstitusi dalam menentukan calon presiden. Janganlah dikarang-karang syarat yang mengganjal calon tertentu agar memuluskan calon yang lain. Undang-Undang harus dikembalikan pada asas dasarnya yang impersonal. Supremasi hukum mengandung hakikat bahwa manusia harus taat kepada undang-undang, bukan undang-undang yang taat kepada kemauan manusia atau untuk kepentingan kelompok politik saja. Hanya dengan begitu supremasi hukum dapat ditegakkan.

Kajian Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres

a. Skema kajian Morfologi

Morfologi : Hukum lebih berpihak kepada mereka yang berada dalam kehidupan sosial tinggi ( dalam hal ini adalah Partai Politik ).

b. Analisis Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres.

Bunyi Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008, berbunyi : Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 %(dua puluh persen ) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 % ( dua puluh lima persen ) dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Ketentaun tersebut tidak bertentangan dengan konstitusi dan tidak diskriminatif walaupun beberapa partai politik menyatakan keberatan bahkan sampai mengajukan uji material atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

REFERENSI :

Huda, Ni’matul, 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2000. Semua Harus Terwakili. Studi Mengenai Reposisi MRP, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Penerbit : PSHK. Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat. Penerbit : Angkasa. Bandung.

Tidak ada komentar: