Latar belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman seni dan budaya yang sangat kaya. Hal itu sejalan dengan keanekaragaman etnik, suku bangsa, dan agama yang secara keseluruhan merupakan potensi nasional yang perlu dilindungi. Kekayaan seni dan budaya itu merupakan salah satu sumber dari karya intelektual yang perlu dilindungi oleh undang-undang. Kekayaan itu tidak semata-mata untuk seni dan budaya sendiri, melainkan dapat dimanfaatkan guna meningkatkan kemampuan di bidang perdagangan dan industri. Dengan demikian, kekayaan seni dan budaya yang dilindungi itu dapat meningkatkan kesejahteraan tidak hanya bagi para penciptanya saja, tetapi juga bangsa dan negara.
Salah satu isu yang menyeruak pada era perdagangan bebas adalah dalam bidang hak kekayaan intelektual. Permasalahan ini mengemuka dikarenakan hak kekayaan intelektual merupakan satu bidang yang tidak terpisahkan dari paket persetujuan pendirian organisasi perdagangan dunia. Hal yang penting untuk memahami permasalahan hak kekayaan intelektual ini hendaknya dapat dipahami dahulu batasan dari hak kekayaan intelektual.[1]
Hak atas kekayaan intelektual (HAKI) merupakan salah satu agenda dari “konser” liberalisasi perdagangan bebas yang tertuang dalam Agereement Estabilishing World Trade Organiation. Dari sejumlah kesepakatan yang dicapai dalam pertemuan di Maroko (Marrakesh Agreement) pada tanggal 15 April tahun 1994, mengagendakan TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights). Adapun tujuan utama dari agenda tersebut untuk melindungi hak kekayaan intelektual dari pembajakan (Infringement) atas suatu karya inovatif, baik di bidang sastra, seni, teknologi, dan karya ilmiah.
Sungguh kompleks dan perlu adaptasi secara terus-menerus untuk mengikuti dinamika perkembangan teknologi serta perangkat hukum yang mengatur tentang hak cipta, merek, dan paten selalu mengalami revisi berulang-ulang. Persoalan perdagangan bebas bagi negara berkembang seperti Indonesia cukup menyulitkan dalam hal-hal tertentu, walaupun di sisi lain terdapat peluang dan tantangan. Sebagai konsekuensi membanjirnya investor dan produk asing di Indonesia, membawa dampak terhadap pembangunan hukum, khususnya bagaimana melakukan harmonisasi ketentuan konvensi internasional dengan hukum nasional. Persoalan lebih berat lagi, bagaimana pemerintah mensosialisasikan undang-undang tersebut sehingga menumbuhkan kesaradaran masyarakat untuk mendaftarkan karya penemuannya serta untuk tidak melakukan pembajakan.[2]
Pengertian Hak Cipta
Istilah Hak Cipta dalam TRIPs disebut sebagai “Hak Cipta dan hak-hak yang berkaitan” atau “copyright and related rights’, sedangkan dalam Konvensi Bern disebut perlindungan terhadap karya-karya sastra dan seni atau “protection of literary and artistic work”. Apabila memperhatikan beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, maka akan ditemukan beberapa sifat dari hak cipta. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 , yaitu:
1. Hak eksklusif, yaitu hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.[3] Dalam Pasal 2, terkandung tiga hak khusus, yaitu:
a. hak untuk mengumumkan ciptaan. Mengumumkan artinya membacakan, menyuarakan, menyiarkan atau menyebarkan ciptaan dengan menggunakan alat apapun dan dengan cara sedemikian rupa, sehingga ciptaan itu dapat dibaca, didengar atau dilihat oleh orang lain;
b. hak untuk memperbanyak ciptaan. Yang dimaksud memperbanyak adalah menambah suatu ciptaan dengan pembuatan yang sama, hampir sama, atau menyerupai ciptaan tersebut dengan menggunakan bahan-bahan yang sama maupun tidak sama termasuk mengalih wujudkan sesuatu ciptaan;
c. hak untuk memberi izin. Yaitu memberi lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaan. Perbuatan ini harus dilaksanakan dengan perjanjian tertulis dalam bentuk akta otentik atau tidak otentik. Perbuatan yang diizinkan untuk dilaksanakan adalah perbuatan yang secara tegas disebutkan dalam akta.[4]
2. Hak Cipta dianggap sebagai perbuatan benda bergerak immaterial. Undang-undang menganggap HKI, khususnya Hak Cipta adalah benda bergerak tidak berwujud (intangible movable goods). Sebagai benda bergerak, Hak Cipta dapat dialihkan seluruh atau sebagian karena pewarisan, hibah, wasiat dijadikan milik negara, perjanjian yang harus dilakukan dengan akta, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu hanya mengenai wewenang yang disebut dalam akta. Oleh karena itu, Hak Cipta tidak dapat dialihkan secara lisan, melainkan secara tertulis dengan akta otentik atau akta di bawah tangan. Hak Cipta yang beralih karena pewarisan terjadi berdasarkan ketentuan undang-undang, sehingga kepemilikan beralih kepada ahli waris karena ketentuan undang-undang, beralih secara otomatis sejak meninggalnya pemilik hak, meskipun dapat juga dialihkan dengan akta disaat pewaris hidup.
3. Hak Cipta dapat disita
Hak Cipta bersifat pribadi dan manunggal dengan diri pencipta, sehingga hak pribadi itu tidak dapat disita darinya, kecuali Hak Cipta tersebut diperoleh secara melawan hukum. Apabila pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hukum diancam dengan hukuman, maka hukuman ini tidak dapat mengenai Hak Cipta, tetapi yang dapat disita adalah hasil ciptaannya.
Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 telah memberikan definisi tentang Pencipta, yaitu: seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.[5]
Dalam ketentuan di atas tersirat bahwa yang disebut dengan pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang mewujudkan suatu ciptaan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 untuk pertama kali berdasarkan ide yang dipunyainya dan seseorang itu mempunyai hak-hak sebagai pencipta atas ciptaannya.
Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 yang dapat digolongkan sebagai pencipta adalah:
1. a. Orang yang namanya terdaftar dalam daftar umum ciptaan dan pengumuman resmi tentang pendaftaran pada Departemen Kehakiman;
b. Orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumumkan sebagai pencipta pada suatu ciptaan;
c. Orang yang berceramah pada ceramah yang tidak tertulis dan tidak ada pemberitahuan siapa penciptanya, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya;
2. Orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian ciptaan, atau jika tidak ada orang itu, orang itu menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing bagian ciptaannya, yaitu jika suatu ciptaan terdiri dari beberapa bagian tersendiri yang diciptakan dua orang atau lebih;
3. Orang yang merancang ciptaan, yaitu jika suatu ciptaan yang dirancang seseorang diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang yang merancang
4. Orang yang membuat ciptaan, yaitu dalam hubungan dinas, hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, kecuali diperjanjikan lain;
5. Badan hukum yang mengumumkan ciptaan dengan tidak menyebut seseorang sebagai penciptanya, kecuali dibuktikan sebaliknya;
6. Terhadap ciptaan yang tidak diketahui penciptanya, maka berlaku ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002:
a. Apabila suatu ciptaan tidak diketahui penciptanya dan ciptaan itu belum diterbitkan, maka Negara memegang Hak Cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya;
b. Negara memegang Hak Cipta atas karya pra sejarah, sejarah, benda, budaya nasional, juga memegang Hak Cipta atas hasil kebudayaan rakyat yang telah menjadi milik bersama terhadap luar negeri.
c. Apabila suatu ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui penciptanya atau pada ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran penciptanya, maka penerbit memegang Hak Cipta atas ciptaan tersebut untuk kepentingan penciptanya.
Mengenai jangka waktu perlindungan ciptaan, secara umum Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 membagi dalam 3 (tiga) kelompok besar yang dihitung sejak 1 Januari tahun berikutnya setelah ciptaan tersebut diumumkan atau setelah pencipta meninggal dunia, walaupun pada dasarnya hak tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 34 Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, telah dilindungi sejak lahirnya suatu ciptaan.
Berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, perlindungan Hak Cipta adalah sebagai berikut:
1. Selama hidup pencipta dan terus berlangsung 50 tahun setelah pencipta meninggal. Jika pencipta lebih dari satu orang, maka ukuran yang dipakai adalah pencipta yang terlama hidupnya. Ciptaan yang masuk dalam kategori ini adalah:
a. Buku, pamplet, dan semua hasil karya tulis lainnya;
b. Drama atau drama musical, tari, koreografi;
c. Segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat dan seni patung;
d. Seni batik;
e. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
f. Arsitektur;
g. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan sejenis lain;
h. Alat peraga;
i. Peta;
j. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai;
2. Selama 50 Tahun sejak pertama kali diumumkan atau diterbitkan. Dalam kategori ini terdiri dari:
a. program komputer;
b. sinematografi;
c. fotografi;
d. database;
e. karya hasil pengalihwujudan;
f. perwajahan karya tulis;
g. semua karya yang disebutkan pada angka (1) dan angka (2) yang dimiliki atau dipegang oleh suatu badan hukum;
h. ciptaan yang hak ciptanya dipegang penerbit karena tidak diketahui penciptanya atau pada ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran sebagaimana diatur dalam Pasal 10 A ayat (2) Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002;
i. ciptaan yang dipegang negara untuk kepentingan penciptanya, apabila tidak diketahui penciptanya dan belum diterbitkan. Perhitungan jangka waktunya dimulai pada saat diketahui oleh umum.
3. Berlaku tanpa batas waktu, yaitu atas ciptaan tradisional atau folklore atau hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya.
Dengan adanya pengaturan yang berbeda-beda tentang jangka waktu perlindungan atas suatu ciptaan, maka dapat dikatakan bahwa jangka waktu perlindungan terhadap suatu ciptaan berbeda dari suatu jenis ciptaan dengan jenis ciptaan lainnya.
Jangka waktu perlindungan diberikan sesuai dengan kepentingan ekonomi dari penciptanya. Apabila suatu ciptaan itu sudah habis masa jangka waktu perlindungan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, maka ciptaan tersebut akan menjadi milik umum/masyarakat (public domain). Akibatnya, setiap orang bebas untuk memperbanyak, mengumumkan, dan menyewakan ciptaan yang sudah habis perlindungannya.
Perlidungan Hukum Hak Cipta atas Software
Software atau program komputer merupakan sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk penyampaian dalam merancang instruksi-instruksi tersebut.
Piranti lunak atau perangkat lunak adalah istilah Indonesia, sedangkan istilah dalam bahasa Inggris adalah software. Istilah ini adalah sebuah terjemahan harafiah. Perangkat lunak adalah program komputer yang isinya dapat diubah dengan mudah. Perangkat lunak umumnya digunakan untuk mengontrol perangkat keras, melakukan penghitungan, berinteraksi dengan perangkat lunak lainnya dan lain-lain.
Beberapa katagori dari perangkat lunak yaitu perangkat lunak sumber terbuka (open source), perangkat lunak bebas (free software) dan perangkat lunak tidak bebas (proprietary software). Dibawah ini dijelaskan pengertian-pengertian dari perangkat lunak yaitu :
1. Perangkat lunak sumber terbuka (open source)
Adalah jenis perangkat lunak yang dihasilkan dari suatu komunitas pengembang piranti/perangkat lunak dan dibangun secara sukarela. Produk perangkat lunak yang dihasilkan ini bersifat bebas dengan tetap menganut kaidah dan etika tertentu. Perangkat lunak sumber terbuka dapat dibaca kode-kode pemrogramannya. Kode ini dapat diubah, dimodifikasi dan dikembangkan sendiri oleh kita dengan tetap memperhatikan aturan-aturan yang berlaku. Contohnya : Linux Redhat, Linuk Mandrake, Open Office, dll
2. Perangkat lunak bebas (free software)
Adalah perangkat lunak yang mengacu pada kebebasan para penggunanya untuk menjalankan, mempelajari, menggandakan dan menyebarluaskan. Kebebasan untuk melakukan semua hal di atas berarti tidak perlu atau keharusan meminta atau pun membayar untuk izin tersebut. Contohnya : Acrobat Reader, Mozilla Firefox, dll
3. Perangkat lunak tidak bebas (proprietary software)
Adalah sebutan untuk jenis perangkat lunak yang harus membayar izin/ lisensi sebelum menggunakannya. Contohnya : Microsoft Windows, Microsoft Office, Adobe Photoshop, Norton Antivirus, McAfee Antivirus, AutoCAD, dll.[6]
Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) UUHC, ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, antara lain:
a. Buku, program komputer, pamplet, perwajahan (lay out), karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya;
b. Ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lainnya yang sejenis dengan itu;
c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. Drama atau drama musical, tari koreografi, pewayangan dan pantomim;
f. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung kolase dan seni terapan;
g. Arsitektur;
h. Peta;
i. Seni batik;
j. Fotografi;
k. Sinematografi;
l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Apabila memperhatikan pada Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, dapat ditemukan beberapa bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada pencipta, khususnya terhadap pencipta software / program komputer, yaitu:
1. Pemegang Hak Cipta berhak untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas terjadinya pelanggaran Hak Ciptanya dan dapat meminta dilakukan penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu (Pasal 56 ayat (1);
2. Pemegang Hak Cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta; (Pasal 56 ayat (2)
3. Sebelum menjatuhkan petusan akhir dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan pengumuman dan/atau perbanyakan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran hak cipta. (Pasal 56 ayat (3)
4. Ketentuan pidana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) : melakukan perubahan sebaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) denda minimal 1 juta dan atau pidana penjara minimal 1 bulan atau maksimal denda 5 milyar dan atau pidana 7 tahun. Pasal 72 ayat (2) : mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan hasil pelanggaran, pidana maksimal 5 tahun dan atau denda maksimal 500 juta. Pasal 72 ayat (3) : Perbanyak secara ilegal, untuk kepentingan komersial pidana maksimal 5 tahun dan atau denda maksimal 500 juta.
Dalam suatu proses pengadilan, hakim dapat memutuskan sejumlah penyelesaian, termasuk di antaranya:
1. kerugian-kerugian, termasuk kerugian sejumlah tambahan atas pelanggaran hak cipta secara sengaja;
2. berupa perhitungan/pembagian keuntungan yang diperoleh pihak pelanggar dari pelanggaran hak cipta yang dilakukannya;
3. berupa penyerahan barang-barang hasil pelanggaran hak cipta atau teknologi yang digunakan untuk membuat barang-barang tersebut;
4. berupa putusan hukum final untuk mencegah pelanggaran lebih lanjut.
Penutup
Upaya perlidungan hukum terhadap pencipta software atau program komputer dari berbagai aktivitas yang merugikan merupakan langkah yang harus disambut dengan baik, karena perlidungan atas karya cipta setidaknya memberikan dampak positif yaitu dari aspek ekonomi, hak atas royalti menjadi lebih pasti dan terjamin, sedangkan perlindungan hak cipta bagi penciptanya merupakan suatu pengakuan dan penghargaan dari masyarakat atas eksistensi pencipta dan karya-karyanya, dimana pada hakikatnya merupakan sumber moral dan sumber semangat yang berperan dibalik lahirnya sebuah hasil ciptannya (software).
[1] Budi Agus Riswanto dan Siti Sumartinah, 2006. Masalah-masalah HAKI Kontemporer, Gitanagari,
[2] Ade Maman Suherman, 2005. Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia
[3] Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002.
[4] Abdulkadir Muhamad, 1999. Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal. 115.
[5] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002.
[6] Martinus Gandasaputra, 2007. Identifikasi Cakram Optik Dan Piranti Lunak, Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengenalan Sistem Lisensi Perangkat Lunak Bagi Penyidik Polri Polda Jateng, Hotel Quality Solo, 31 Januari 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar